Mengetahui Proses Pembuatan Mumi Baliem Papua
Jayawijaya – Lembah Baliem terletak 1650 meter di atas permukaan laut. Lembah ini terkenal hingga ke mancanegara dengan Festival Budaya Lembah Baliem yang berlangsung 7 sampai dengan 10 Agustus setiap tahunnya.
Pada zaman kolonial Belanda, lembah ini diberi nama ‘Grote Vallei‘ atau ‘Lembah Besar’. Masyarakat yang tinggal di Lembah Baliem menyebut dirinya orang Hubula atau orang Balim (akhuni Palim meke).
Pada masa prasejarah, ada dua tradisi kematian yang dilakukan Suku Dani di Lembah Baliem, Papua. Pertama, jenazah dibakar. Kedua, jenazah disimpan dalam bentuk mumi.
Penanganan mayat dengan cara dikremasi umumnya dilakukan untuk seluruh anggota Suku Dani di Lembah Baliem. Ini berlaku untuk orang-orang yang meninggal baik karena tua, sakit maupun mati dibunuh.
Sedangkan penanganan mayat dengan cara dimumi hanya berlaku untuk orang-orang tertentu yang membutuhkan persyaratan tertentu. Orang yang memenuhi kriteria dapat dijadikan mumi adalah tokoh adat yang mempunyai pengaruh terhadap masyarakat atau panglima perang.
Namun demikian tidak setiap orang memenuhi kriteria dapat dijadikan mumi setelah meninggal tanpa mempersiapkan terlebih dahulu syarat-syarat lain yang banyak dan cukup berat. Seperti mempersiapkan orang-orang yang dapat menangani, memelihara supaya mumi tersebut tetap awet selamanya.
Ada tahapan-tahapan dalam mempersiapkan dan menangani mumi, yaitu menunjuk anggota suku yang bertugas mengerjakan proses pemumian, menyiapkan kayu bakar, dan menyiapkan honai sebagai tempat pelaksanaan pemumian.
Proses pengerjaan mumi di Lembah Baliem adalah sebagai berikut: setelah tokoh yang layak diberi penghormatan tinggi meninggal dunia, jenazahnya pun disiapkan menjadi mumi. Terlebih dahulu mayatnya diasap dengan kayu bakar.
Sebelum pengasapan dilakukan, dipersiapkan babi yang baru lahir sebagai tanda waktu. Waktu pengasapan berlangsung adalah sejak babi lahir sampai babi tersebut mempunyai taring yang panjang.
Setelah selesai pengasapan kemudian dilakukan upacara-upacara untuk memandikan para petugas, pelepasan mumi dengan memotong babi yang digunakan sebagai tanda waktu, mengalungkan ekor babi yang dipotong tersebut ke leher mumi. Setelah semua proses pengerjaan mumi selesai, maka diakhiri dengan pesta bakar batu.
*Penulis, Hari Suroto, Peneliti Balai Arkeologi Papua & Dosen Antropologi Uncen. Tulisan ini dikirimkan ke Nabire.Net
[Nabire.Net]
Tinggalkan Balasan