“Dinasti Politik Sebagai Simbol Merosotnya Citra Demokrasi di Indonesia”

“Makahmah Konstitusi (MK) legalkan Dinasti Politik, Awal pengalihan bentuk negara Republik pada bentuk negara Kerajaan. Mastinya lembaga hokum tertinggi tidak semenang legalkan tanpa study kelayakan. Dinasti Politik menuju gerbang penderitaan rakyat kecil juga akan kembali pada kehidupan masyarakat Indonesia pada jaman orde baru yang dianggap penuh dengan kekerasan terhadap masyarakat serta kekuasan otoriter”.

Ketika makahmah konstitusi (MK) melegalkan politik dinasti pada pilkada di Indonesia, itu menjadi awal buramnya politik praktis Indonesia sebagai Negara demokrasi di Asia Tenggara. Dilegalkannya politik dinasti akan mengimbas pada tindak pidana korupsi, juga proses pembangunan pada lima tahun mendatang akan mengalami kemunduran. MK tidak mempertimbangkan negara Indonesia sebagai negara republik bukan kerajaan.

Jelas sekali, berdasakan Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota bermuatan diskriminatif. Pasal 7 huruf r yang melarang bakal calon kepala daerah terikat hubungan darah/perkawinan dengan petahana dinilai bertentangan dengan Pasal 28 i ayat 2 UUD 1945. Tetapi Makahmah Konstitusi melegalkan setiap warga negara, siapa pun, harus punya kesempatan yang sama. Makahmah Kostitusi mengkocar-kacirkan UU No.8 Tahun 2015.

Menurut Wikipedia, Wangsa berarti dinasti, atau kelanjutan kekuasaan pemerintahan yang dipegang oleh satu garis keturunan (keluarga yang sama). Dalam sejarah Indonesia banyak kerajaan di bumi nusantara yang rajanya berasal dari satu garis keturunan yang sama, misalnya wangsa Sailendra pada Kerajaan Mataram Kuno, wangsa Bendahara pada Kesultanan Johor dan Kesultanan Riau-Lingga.

Dinasti adalah sistem reproduksi kekuasaan yang primitif karena mengandalkan darah dan keturunan dari hanya bebarapa orang. Oleh karena itu di dalam dinasti tidak ada politik karena peran publik sama sekali tidak dipertimbangkan. Dengan itu, dinasti juga menjadi musuh demokrasi karena dalam demokrasi, rakyatlah yang memilih para pemimpinnya. Jadi, politik dinasti adalah proses mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu (contohnya keluarga elite) untuk bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan disuatu negara.

Secara harfiah pengertian dinasti itu sendiri adalah kekuasaan yang dipegang secara turun temurun dalam satu garis keturunan atau kerabat.

Dinasti politik berpotensi besar menimbulkan perilaku korupsi. Dinasti politik cenderung melahirkan korupsi dari pada politisi lain yang berkembang tanpa melibatkan keluarga. Pemerintah telah mengatur pencegahan berdirinya dinasti politik melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang. Dalam aturan tersebut, orang yang memiliki ikatan perkawinan dan darah lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan inkumben tidak boleh menjabat kecuali jeda satu periode.

Terkait dilegalkannya politik dinasti oleh MK disikapi serius Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Riza Patria, yang menyatakan dirinya cukup kaget dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan aturan pelarangan dinasti politik dalam UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Pasal pelarangan dinasti politik yang dibatalkan MK itu sebenarnya didasarkan pada kondisi di lapangan dan sejarah perjalanan pilkada. Selama ini, para calon kepala daerah petahana itu sudah seperti membangun sebuah kerajaan sendiri. Dia memiliki kekuasaan besar sebagai Kuasa Pengguna Anggaran yang jumlahnya ratusan miliar bahkan triliunan rupiah. Dan mereka juga punya otoritas mengangkat, memutasikan, dan juga menentukann program. Faktanya, daerahnya tidak maju, masyarakatnya tidak sejahtera, tapi keluarga si petahana semakin kaya, kroni dan kerabat makin makmur, masyarakat makin miskin.

Karena itu, dibuatlah pelarangan yang berniat memutus dan memberi jeda satu periode, atau lima tahun, kepada petahana dan keluarganya. Mereka sebenarnya tidak dihilangkan haknya, tidak hendak melanggar HAM-nya, cuma memberi jeda saja. Menurut saya, wajar memberi jeda satu periode. Kenyataannya selama ini juga, ketika jeda itu dilaksanakan, justru si calon petahana memaksakan agar anaknya yang maju menjadi calon kepala daerah, bahkan ibunya yang biasa mengurus Posyandu disuruh maju.

Bagi Riza, aturan yang dibatalkan MK itu juga tidak menjamin adanya keadilan. Sebab kondisinya sulit mengalahkan calon petahana yang membawa modal triliunan rupiah, sementara calon baru yang menantang hanya bermodal, misal Rp 15 miliar.

Perbandingan putusan MK itu sebagai persaingan antara Peritel Besar seperti Carrefour atau Alfamart, dengan kios yang dimiliki warga masyarakat kecil. Pemerintah membuat aturan bahwa jarak antar toko yang dimiliki peritel besar minimal 500 meter. Tujuannya agar memberi kesempatan pada kios kecil agar bisa bersaing.

Bagaimana usaha kecil bisa menang melawan Carrefour yang disupport kredit bank besar, sementara pedagang kita menanam modal sendiri, membeli cash, makanya lebih mahal ongkosnya. Maka itu Negara harus berpihak.

Itu sama dengan pilkada dan aturan melarang politik dinasti ini. Kalau MK berpendapat pelarangan itu inkonstitusional, maka putusan MK itu tidak ada keberpihakan. Kalau begini, ya sama saja akan melegalkan politik dinasti sampai hari kiamat. Nasib politik praktis Indonesia akan mengalami kemunduran. Undang-undang Dasar 1945, dasar Negara yang tertuang tentang menjamin kesejahtraan rakyat Indonesia mengalami keburukan. Dinasti politik juga memperburuk sistim pemerintahan di Indonesia.

Pada ulasan diatas penulis akan merujuk pada provinsi paling timur di Indonesia, yakni Provinsi Papua. Selama Pilkada digelar, Provinsi Papua dianggap sebagai daerah rawan konflik. Saya kira ada dua versi konflik, konflik bernuansa kekuasan juga konflik yang bernuansa untuk korbankan rakyat kecil yang tidak punya kepentingan apa pada proses pilkada.

Konflik dan Dinasti Politik di Papua

Di Papua, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua serta 7 Kabupaten lain menggelar pemilihan Bupati dan Wakil secara serentak. Pada pelaksanaan pilkada serentak tahun 2018 di Papua tidak terlepas dari politik dinasti.

Di Kabupaten Deiyai, sempat massa yang gabung dalam Forum Peduli Alam Deiyai sempat gelar aksi demo damai sebagai bentuk penolakan terhadap terhadap pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Deiyai nomor urut 4, Inarius Douw dan Anekletus Doo. Paslon nomor empat dianggap anak kandung Bupati Kabupaten Nabire Isaias Douw.

Aksi demo tersebut menuai sorotan dari sejumlah massa yang hadir pada demo tersebut. Tepatnya didepan Kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Deiyai, massa menyerukan bahwa Bupati Nabire Isaias Douw melakukan politik dinasti pada pilkada serentak di Kabupaten Deiyai.

Selain itu kampanye hitam digulirkan pada pilkada di Papua. Kenyataan ini mencederai pilkada serentak di Provinsi Papua. Pada pilkada sebelumnya, di Kabupaten Intan Jaya Papua, terjadi konflik horizontal hingga belasan warga luka-luka dan sebagian meninggal dunia akibat pilkada Bupati tahun 2017.

Dinamika konflik politik dan politik dinasti, tentu akan melahirkan pemimpin koruptor yang kemudian terpilih, tentunya rakyat sebagai penggerak roda birokrasi yang sesungguhnya dijadikan objek bukan dijadikan subjek pembangunan.

Masyarakat juga menjadi korban kepentingan para penguasa. Imbas konflik politik pada daerah yang akan menggelar pilkada perlu diantisipasi sebelumnya. Penyelenggara harus memahami sifat dan karakter dari masyarakat di Kabupaten tersebut. Jika diabaikan oleh penyelenggara maka hal ini akan mengakibatkan konflik yang mengorbankan masyarakat kecil.

Contoh Kasus; seperti di Kabupaten Paniai, ketika Panitia Pengawas Pemilu kabupaten Paniai membatalkan SK Penetapan tiga paslon perseorangan di Kabupaten Paniai, Sabtu, 10 Maret 2018, hal itu berbuntut pada dikeroyoknya mobil mantan Bupati Paniai, Hengki Kayame yang maju sebagai calon Bupati Paniai, oleh pendukung paslon yang digugurkan Panwaslu Paniai.

Uraian diatas adalah realitas politik praktis di Indonesia yang memperburuk citra demokrasi di Indonesia hanya karena “dinasti politik”. Dinasti politik akan merujuk pada proses kekuasan nuansa otoriter. Dinamika ini bila terus berlanjut maka kehidupan rakyat Indonesia akan kembali pada era orde baru, yang dianggap penuh menipulasi dan kekerasan terhadap kekuasan yang tidak merata.

Makahmah Konstitusi (MK) harus lebih jeli memantau pilkada di Papua. Diperlukan tim pemantau khusus yang diutus makahmah konstitusi untuk mengawasi Pilkada di Papua.

Melihat wilayah geografis di Papua yang sulit dijangkau maka diperlukan pendekatan sebelum pencoblosan digelar. Walapun deklarasi pilkada damai sudah ditandatangani oleh setiap paslon tetapi tentu terakhir akan bermuara ke Makahmah Konstitusi. Ironisnya, Paslon yang dinyatakan menang di lapangan sesuai peroleh suara, justru dinyatakan kalah dihadapan MK. Kecolongan tersebut akan terjadi konflik horizontal yang mengorbankan rakyat kecil.

Makahkah Kostitusi (MK) sebagai lembaga hukum tertinggi di Indonesia harus jeli memutuskan dan menetapkan proses sengketa pilkada di Provinsi Papua dengan melakukan pendekatan dan pengawasan sehingga mudah memutuskan dalam persidangan sengketa.

Saran

Dinasti Politik sudah memperburuk citra demokrasi di Indonesia. Makahmah Konstitusi sebagai lembaga hukum di Indonesia tidak lagi mengakui Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang, sebagai dasar hokum yang mengatur proses pemilukada di Indonesia. Uji materi di MK adalah tentu didesak oleh pihak tententu paham “Politik Nepotisme”.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu mengambil tindakan keras terkait dinasti politik di seluruh Indonesia terutama di provinsi Papua. Jika dinasti politik berlanjut terus akan berpontensi mengganggu keutuhan Indonesia, serta rakyat tidak menganggap dirinya sebagai warga Negara Indonesia lagi karena merasa tidak diberika keadilan.

“Dinasti politik adaalah masalah serius di Indonesia yang tidak boleh dianggap sepele”. Dinasti politik bukan solusi lagi untuk kesejahtran di Indonesia tetapi akan menambah kesengsaran bagi rakyat kecil Indonesia. Sekian dari saya.

*Penulis adalah Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi (GNPK-RI) Provinsi Papua, Jeckson Ikomou. Email: gnpk-ri.papua@gmail.com, WA: 081355881441

[Nabire.Net]


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *