“Apakah Negara Masih Layak Menjadi Negara Hukum & Demokrasi ?”
Dogiyai – Indonesia sebagai negara hukum & demokrasi rechtsstaat atau the rule of law merupakan negara yang berjalan berdasarkan pada aturan sesuai dengan hukum yang berlaku. Jika gagal menerapkan keadilan, kejujuran dan kedamaian tentu ditempatkan pada posisi yang paling minim dari negara-negara lain di dunia.
Bila diperhatikan secara serius teliti dan seksama, negara memang telah gagal menjalankan peran dan kewajibannya sebagai negara hukum dan demokrasi.
Negera Republik Indonesia dipenuhi banyak perspektif masalah baik pelanggaran HAM serta persoalan lainnya. Sayangnya tingkat penyelesaiannya minim sehingga setiap masalah pelanggaran HAM di negara ini selalu mengambang penyelesaiannya karena kurangnya penegakan hukum dari penegak hukum (Kejaksaan, TNI/Polri dan badan peradilan lainnya, sehingga mengakibatkan masalah yang tak terselesaikan.
Bukan Pelanggaran HAM saja tetapi semua aspek masalah kehidupan di negara ini.
Yohanes menilai, negara lebih cenderung menerapkan sistem hukum Civil Law ketimbang Common Law sehingga banyak penegakan hukum yang menimbulkan polemik.
Peningkatan pelanggaran hukum terus meningkat bahkan melibatkan elite masyarakat sebagai wakil masyarakat di dalam parlemen. Demokrasi hanya disuarakan tapi tidak dilaksanakan sebagimana mestinya. Pembangunan sistem hukum di Indonesia mengacu kepada legal substance atau isi aturan-aturan hukum, legal structure atau lembaga dan aparat penegak hukum serta legal culture atau budaya hukum masyarakat.
Legal structure menjadi masalah utama terkait lemahnya penegakan hukum sehingga seakan hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas, seperti yang terjadi di Papua.
Masyarakat di Papua sering menyuarakan aspuranya namun oleh pihak berwenang selalu dikekang, bahkan ditangkap dan lain sebagainya. Tentu hal itu tak sesuai dengan kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum yang ada di UUD 1945.
Lalu pertanyaannya apakah Indonesia masih layak menjadi negara hukum dan demokrasi ?
Persoalan lainnya seperti maraknya kasus korupsi, kasus-kasus kejahatan dan kekerasan yang meningkat, kasus peredaran narkoba. Pemerintah kerap kali gagal memberikan perlindungan dan pembelaan atas hak masyarakat, terutama masyarakat kecil, dari tindakan perampasan hak dan kesewenang-wenangan para pemodal, yang pada akhirnya membuat masyarakat frustasi dan berujung pada tindakan anarkisme dan konflik berkepanjangan.
Contoh kegagalan lainnya terdapat di bidang ketenagakerjaan. Hampir setiap hari, kita mendengar ada unjuk rasa buruh, sebagai akibat tidak mampunya pemerintah menjadi wasit dan regulator yang baik. Sehingga, penyimpangan hubungan industrial marak terjadi dimana-mana.
Belum lagi, mengenai perlindungan terhadap TKI di negeri orang dengan beragam masalahnya. Demikian pekerja atau buruh di dalam negeri juga terkesan dibiarkan menjadi objek perbudakan modern dengan tameng outsourcing dan pekerja kontrak.
Selain itu, Yohanes mengatakan, menurut data yang dirilis Fund for Peace (FFP) dalam situs resminya http://www.fundforpeace.org, Indonesia menduduki urutan ke 63 sebagai negara yang gagal hukum dari 178 negara.
Dari 178 negara, Indonesia menduduki urutan ke 63. Indeks negara Hukum dan Demokrasi Gagal ini adalah edisi delapan tahunan yang menyoroti tekanan hukum, politik, ekonomi, dan sosial global yang dialaminya.
Sementara menurut penilaian para analisis The Fund for Peace (FFP) di kawasan Asia Tenggara, tahun ini setiap indikator dinilai pada skala 1-10, berdasarkan analisis dari jutaan dokumen yang tersedia untuk publik, data kuantitatif lain, dan penilaian oleh para analis di kawasan Asia Tenggara, Indonesia berada di paling atas.
Bagaimana negara mengelola tekanan berdasarkan supremasi hukum dan demokrasi, sehingga Indonesia layak menjadi negara hukum dan demokrasi di mata dunia ?
Dengan berbagai penilaian seperti itu, negara telah gagal menjamin kebebasan demokrasi dan penegakan hukum di negara ini. Imbasnya seperti yang terjadi saat ini di Papua, dimana warga menuntut penyelesaian pelanggaran HAM bertahun-tahun di Papua yang tak pernah tuntas.
Jika negara tak bisa menuntaskan kasus pelanggaran HAM secara transparan yang selama ini telah menyakiti hati warga Papua, maka negara telah gagal mengambil hati orang Papua.
Dengan demikian, negara harus memberikan ruang bagi orang Papua untuk mengakui apakah negara telah gagal atau tidak dalam memberikan keadilan di Papua melalui referendum, apakah nantinya Papua harus tetap di Indonesia atau Papua menentukan nasibnya sendiri melalui kemerdekaan.
Penulis : Yohanes Piyaiyepai Magai, Mantan Ketua BEM STIH Umel Mandiri Jayapura
[Nabire.Net]
Tinggalkan Balasan