Nabire Bukan Bagian Dari Meepago, Pemekaran Harus Didasarkan Wilayah Adat

Pemekaran Papua Tengah

(Konsolidasi Masyarakat Adat Pesisir Nabire menggelar penandatanganan petisi bahwa Nabire adalah wilayah adat Saireri bukan Mee Pago yang dipimpin oleh yohanes Wanaha)

Nabire, Rencana pemekaran Papua Tengah harus didasarkan pada budaya dan wilayah adat, sehingga hal ini tidak akan menjadi persoalan di kemudian hari.

Demikian penegasan Ketua Tim Adat Saireri yang juga Kepala Suku Wate, Yohanes Wanaha. Ia menjelaskan, pemekaran Daerah Otonomi Baru harus melalui kajian dan pemetaan wilayah adat secara baik.

“Kami ingin pemerintah lewat instansi atau pun Komisi II DPR RI turun ke lapangan, serap aspirasi, lakukan kajian dan pemetaan wilayah adat secara baik, sehingga pemekaran Papua Tengah yang dilakukan tidak terjadi polemik di tengah masyarakat,” katanya di Nabire, Kamis (24/02/2022), seperti dilansir Nabire.Net dari WartaPapua.

Ia menjelaskan bahwa Nabire bukanlah wilayah adat Mee Pago, tetapi masuk wilayah adat Saireri, begitu juga Mimika bukanlah wilayah adat Meepago atau Lapago, karena masyarakat Mimika dasarnya merupakan suku Kamoro. Sehingga sudah seharusnya hal ini dikaji lebih baik dan bijak.

“Saya ambil contoh, ketika saudara kami di atas (pegunungan gelar) acara adat, mereka bukan waita atau menari berkeliling tetapi mereka tari Yospan yang merupakan budaya orang Saireri, bahkan buat acara adat di pinggi Danau Paniai, gunakan tifa yang merupakan alat musik cara adat Saireri,” katanya mencontohkan.

Wanaha juga mengklarifikasi soal isu-isu liar yang berkembang bahwa akan terjadi penolakan atau pengusiran terhadap warga lainnya di Nabire, hal itu tidak benar.

“Kalau ada isu-isu miring belakangan ini, kita dengar yang dibilang, bahwa orang Nabire mau mengusir saudara-saudara kita yang lain, itu tidak benar. Tapi tolong dipahami dan disikapi baik maksud yang menjadi tujuan dan dasar yang disampaikan, barang ini kalau dilihat dari sisi politik, pemerintahan dan lain-lain, ini bisa diadu domba, padahal tujuan kita itu baik. Menerangkan soal wilayat adat dan budaya,” jelasnya.

Ia juga menerangkan bahwa pihaknya telah berjuang hingga ke DPRD Kabupaten Nabire untuk menjelaskan persoalan yang dimaksud bahwa Nabire bukan wilayah adat Meepago, bahkan menggelar aksi damai menandatangani petisi yang nantinya hal itu akan dibawa dan diaspirasikan ke Jakarta, ke Mendagri, Komisi II DPR RI dan ke Presiden Jokowi

Wanaha melanjutkan bahwa dalam kegiatan beberapa waktu lalu terkait perjuangan Nabire bukan wilayah adat Mee Pago, juga mengundang Kepala Suku Mee, Ferry You lalu ada juga tokoh adat Mee Pago lainnya seperti Donatus Gobay, hingga Andreas Pekey tokoh masyarakat berpengaruh lainnya. Para tokoh adat ini, lanjut Wanaha, bahkan mendukung dan menyampaikan bahwa hal itu perlu penjelasan karena memang hak yang harus diperjuangkan.

“Sehingga kami mau, sebelum pemerintan melaksanakan pemekaran provinsi, harus ada penjelasan dasarnya apa dalam pembagian atau penempatan wilayah adat. Agar tidak ada suku yang menjadi korban karena berbeda kultur atau budaya karena Nabire ini ada enam suku besar di antaranya Suku Wate, Suku Yerisiam, Suku Mora dan empat kerukunan yakni Wandamen, Yapen Waropen, Kepulauan Yapen dan Kerukunan Biak Supiori,” sebut Wanaha yang juga Ketua Tim Konsolidasi Masyarakat Pesisir.

Sementara itu, rekannya Reyner Windesi menegaskan bahwa DOB jangan melupakan budaya dan wilayah adat sehingga mengorbankan sejumlah suku dan kerukunan yang ada di Nabire.

“Jadi, tidak boleh ada satu pun kultur budaya di tanah Papua yang hilang, karena kita salah penyebutan atau salah melangkah. Apalagi beranjak dari kepenting-kepentingan birokrasi dan politik, ini harus kita hindari kedepan, karena budaya ini merupakan kekayaan budaya tanah Papua dan nusantara, kita harus lindungi,” pintanya.

Seharusnya, kata dia, para kepala daerah di Papua bisa menyelesaikan dulu persoalan wilayah adat sehingga pemekaran yang diwacanakan tidak korban rakyat si pemilik wilayah. “Karena penggabungan budaya dan wilayah adat akan terjadi kekacauan dalam pembangunan sehingga semangat peningkatan kesejahteraan akan jauh, jadi hal ini diselesaikan dulu agar bisa optimal,” sarannnya.

Sebelumnya, pada 16 dan 17 Februari 2022 bertempat di Pantai Maf, Konsolidasi Masyarakat Adat Pesisir Nabire menggelar penandatanganan petisi bahwa Nabire adalah wilayah adat Saireri bukan Meepago yang dipimpin oleh yohanes Wanaha.

Pada momentum itu, Ketua Dewan Adat Papua Wilayah Nabire, Herman Sayori mengatakan bahwa hasil petisi itu akan diserahkan kepada DPRD Nabire, dilanjutkan ke DPR Papua hingga ke MRP, dan ke Jakarta kepada Presiden Jokowi.

[Nabire.Net/WP]


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *