Sepak Terjang Perusahaan Kayu & Perkebunan Sawit Di Nabire, Dan Terancamnya AMDAL

Sekitar 55 kilometer sebelah barat dari Kabupaten Nabire, Papua, terhampar luas hutan adat milik suku besar, Yerisiam. Suku ini ada empat sub: Wauha, Akaba, Karoba dan Sarakwari. Dataran seluas puluhan ribu hektar ini berada di bibir Pantai Teluk Cenderawasih.

Selain laut, hutan adalah sumber hidup empat suku ini. Dari sana mereka memperoleh sagu, tempat berburu, sampai obat-obatan. Di sana pula tempat keramat yang diyakini sebagai persemayanan arwah moyang mereka.

Kondisi berubah sejak 1990-1991. Saat itu, perusahaan HPH, PT Sesco masuk ke Distrik Wanggar dan Yaro. Ia mengambil kayu merbau batangan. Ketua Kopermas, Yunus Kegou menceritakan, perusahaan mengakhiri operasi pada 2000 meninggalkan banyak janji.

“Saat itu ia  belum membayar Rp40 juta dengan hitungan satu kubik Rp1.000. Permintaan masyarakat, empat motor, empat sensaw, dan satu mobil angkutan warga belum dilunasi hingga saat ini,” kata Kegou.

Sekitar 2003, ada tiga perusahaan masuk di daerah ini. PT Pakartioga, PT Junindo dan PT Kalimanis (PT Jati Dharma Indah). Pakartioga disinyalir Sesco ganti nama. Junindo dan Kalimanis dengan nama HPH PT Jati Dharma Indah (JDI). Dalam izin HPH, masa operasi JDI berakhir 2017 dengan izin operasi di Barat dan Timur Kota Nabire, hampir sebagian besar Teluk Cenderwasih.

Kehadiran perusahaan-perusahaan ini meninggalkan banyak kisah buram. Kisah tanggung jawab sosial buruk sampai tenaga kerja dari luar, pengalaman dengan transmigrasi serta pendatang di sana. Konflik muncul. Tidak hanya antara warga dan perusahaan juga antarwarga.

Kepala Kampung Makimi, di Timur Kota Nabire, Erens Rumbobiar menuturkan, pernah beberapa kali konflik antarwarga ulah perusahaan kayu kala itu. Satu kasus, Jordan dan Paulus Ha’o mengizinkan  PT Barito mengambil kayu, ternyata berada di ulayat Sefnat Monei. Nyaris bentrok fisik dan diselesaikan di rumah kepala Duku Wate,  Didimus Warai. Hadir dalam penyelesaian, mewakili marga-marga, yaitu Utrech Inggeruhi, Simon Hanebora sebagai saksi untuk Sefnat Monei dan Nikanor Monei, dan Jordan Ha’o.

Sekitar 2007, JDI yang telah mengantongi izin hingga 2017, menggandeng PT Harvest Raya dari Korea membuka kebun sawit di wilayah ini.  Saat itu, Harvest Raya ditolak masyarakat karena dianggap mengancam hutan dan masa depan anak cucu mereka. Namun, penolakan mengisahkan polemik, marga Monei (Sefnat Monei) sebagai pemilik ulayat tidak menerima, tetapi anak-anaknya menerima.

Pada masa ini masuk pula PT. Nabire Baru (NB), perusahaan sawit, di Kampung Sima dan Kampung Wami, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire. Konsesi ini di sebelah Utara berbatasan dengan laut Teluk Cederawasih, sebelah Selatan berbatasan dengan hutan produksi JDI dan Kampung Wami. Sebelah Barat berbatasan dengan Jalan penghubung Nabire-Wasior dan areal PT Sariwarna Adiperkasa. Sebelah Timur berbatasan dengan hutan produksi dan Kampung Jaya Mukti serta Sungai Wanggar.

Perusahaan dikabarkan membangun komunikasi dengan masyarakat adat, terutama beberapa oknum. Pendekatan berujung acara doa syukur bersama masyarakat awal 2010. Doa adat digelar mengawali usaha dan disepakati uang ganti rugi lahan Rp6 miliar. Persetujuan ini dikabarkan tanpa melibatkan JDI  yang telah mengantongi izin hingga 2017 tadi.

Lantas, beberapa oknum mendesak pemerintah Kabupaten Nabire, menerbitkan izin. Usai doa syukuran, warga meminta pemerintah daerah segera menuntaskan status tanah HPH itu agar tidak menghalangi perusahaan sawit.  Bahkan,  ketika itu masyarakat dimotori beberapa pihak di atas sehelai kain berwarna putih menandatangani dibawa ke DPRD Nabire dengan harapan status lokasi bermasalah itu bisa diselesaikan.

Alasannya, JDI telah lama meninggalkan areal itu dan belum ada komunikasi dengan masyarakat adat, walaupun izin HPH masih berlaku. Saat itu, Benyamin Karet, Asisten II Setda Kabupaten Nabire mengatakan, status kawasan  17 ribu hektar itu masih bermasalah karena milik HPH JDI. Kawasan itu juga tak diplot untuk perkebunan sawit.  Namun,  atas desakan masyarakat, pemerintah Kabupaten Nabire, menerbitkan izin dalam bentuk Keputusan Bupati pada 2010. Izin prinsip penanaman modal dikeluarkan Badan Penanam Modal, 21 September 2010.

Bupati Nabire Isaias Douw mengatakan,  masyarakat pemilik ulayat mengaku lokasi itu aman dan bisa digunakan NB. “Kan, saat itu sudah ada pembicaraan dengan masyarakat oleh pihak perusahaan. Ada kesepakatan dengan masyarakat setempat. Karena itu, kami kasih izin kepada investor atas desakan masyarakat untuk sawit,” katanya.

Namun, karena pemerintah tahu akan terjadi masalah dengan JDI, maka meminta masyarakat dan NB menyelesaikan status lokasi dengan perusahaan HPH itu. Saat itu, para aktivis menuding NB dan JDI sengaja seakan-akan membuat konflik mengelabui pengambilan kayu merbau di areal itu.

Konsultan NB, PT Widya Cipta Buana yang dipimpin Iwan Setyawan, Kamis, awal Mei 2013, pada konsultasi publik analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) di Kampung Sima mengatakan, perusahaan berpijak pada UU Lingkungan Hidup, peraturan pemerintah, sampai peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 16. Juga, peraturan Meteri Lingkungan Hidup nomor 17 tahun 2012  tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Andal dan Izin Lingkungan. “Dari sisi hukum, perusahaan ini telah memiliki kelayakan untuk melaksanakan kegiatan.”

NB memulai usaha 2011. Ia merekrut buruh lebih dari 1.250 orang. Pada 2012,  perusahaan mengajukan perpanjangan izin. Keluar Keputusan Bupati Nabire Nomor 71 tahun 2012, tertanggal 24 Juli 2012 tentang perpanjangan izin lokasi. Pohon-pohon pun mulai ditebang. Kayu diolah dan dibawa keluar Nabire. Kala itu, pemilik ulayat mulai protes.

Data yang dihimpun Mongabay, dari izin 17 ribu hektar, areal yang diusahakan 12.438,77 hektar, termasuk saluran air dan jalan dalam kebun, areal penanaman 10.758.00 hektar. Sisanya, terbagi atas padang pantai 1.851,88 hektar, sepadang sungai 1.957,38 hektar, bukit dan daerah keramat 688,32 hektar, kebun sagu 63,69 hektar, dan pembibitan 224,82 hektar.

Tahun 2013, rencana tanam sekitar 2.500 hektar, 2014 sekitar 4.500 hektar, 2015 sekitar 3.428 hektar. Pabrik akan dibangun sekitar 2015 dengan kapasitas 90 ton tb per jam.

Kim, pemilik perusahaan, mengklaim memiliki izin lahan 200 ribu hektar dengan 20-an perusahaan di Kabupaten Nabire dan sekitarnya. Beberapa perusahaan emas di wilayah Topo dan Batu Bara bagian Timur Nabire. Namun, Kim tidak menyebutkan detail semua perusahaan yang dia milik

S.P. Henebora, Kepala Suku Besar Suku Yerisiam juga pemilik ulayat terus menolak PT Nabire Baru (NB). Perusahaan mulai beroperasi. Dia menggelar demontrasi damai beberapa kali di Nabire. Bahkan, sempat mencari dukungan dari organisasi masyarakat sipil dan DPR di Jakarta. Usaha sia-sia.

Pada 2011-2012, operasi NB, terjadi polemik dari penebangan kayu, upah kerja dianggap tak sebanding dengan kerja dan kadang diskriminatif sampai penanganan kecelakaan kerja.

Pemilik hak ulayat mempermasalahkan pengambilan kayu di atas izin sawit pada periode itu. Mereka menilai, izin hanyalah kebun sawit, jika ada pengambilan dan pengolahan kayu dan dibawa keluar Nabire, dalam jumlah besar, harus ada pembicaraan dengan masyarakat.

Utrech Inggeruhi mengatakan, atas nama keluarga besar Yaur, tanah-tanah ulayat mereka di Wami Timur dan Barat tak bisa diolah. Meskipun ada keputusan keluarga besar Yarawowi. Namun, selama dua tahun ini kayu hutan itu sudah habis.

Daniel Yarowobi menambahkan,  NB sudah tak asing lagi dengan dia. Bahkan, perusahaan menganggap Daniel provokator. “Saya tidak banyak komentar. Yang kami nilai, penebangan hutan sejak 2011 membawa dampak negatif bagi kami. Itu tempat sakral, tempat keramat. Dusun Sagu di Wami sebelah Timur sudah hancur. Dari Napan sampai dengan Kabupaten Kaimana itu daerah keramat, tempat kelahiran kami,” kata Daniel.

Lalu, simpedak di sebelah Kali Sima sudah ditebang habis. Tempat keramat dan hutan sagu sudah tinggal 500 meter baik dari pantai maupun sebelah kiri Kali Sima. “Kami sudah buat surat 28 Februari 2012. Kami sudah kirim ke semua jenjang pemerintah di Kabupaten Nabire dan tembusan ke DPR pusat, ke Dinas Lingkungan Hidup di Jayapura, ke Kakanwil Kehutanan. Itu upaya kami. Entah dilihat atau tidak kami tidak tahu.”

Demianus Manuburi dari Kampung Hamoku mengatakan, masyarakat berbeda pendapat. Sebagian besar menolak tetapi perusahaan jalan terus. Hutan-hutan adat mereka terbabat.

Dia menceritakan, pertemuan awal saat perusahaan mau masuk di Gedung SD Kampung Sima, Distrik Yaur. “Semua pertemuan saya  hadir. Masyarakat ini mau, tapi tidak mau juga. Saya tidak mau tapi kenapa hutan Wami bisa dibongkar. Kenapa?”

“Hutan Sima juga sudah dibongkar. Kalau saya mau, Pak Kaiwai tidak mau, tetapi kenapa hutan dibongkar habis. Hanya satu dua orang mau, lalu hutan dibongkar padahal kami banyak dari empat suku ini tidak mau,” ucap Demianus.

Demianus tak bisa berbuat banyak. Dia menolak sawit mengbongkar hutan, tapi tak punya kekuatan untuk menghentikan. “Sawit sudah jalan, kami tidak kuat, jadi jalan saja. Ikut saja, begitu. Kami harap uang sekolah anak-anak kami, gedung sekolah, gereja, dan perumahan masyarakat bisa diperhatikan.”

Dia sangat bersedih melihat hutan mereka kini. “Masa depan saya sudah hancur. Kapan kayu bisa tumbuh lagi. Dalam aturan,  kami dengar hutan sagu dan tempat keramat tidak ditebang tetapi semua sudah habis. Aturan itu tipu saja. Kalau kami hitung-hitung semua, perusahaan mampu bayar kami ka,”  kata Demianus.

Nikanor  Kaiwai, dari Wanggar Pantai dan warga lain terus mendesak Amdal untuk memperjelas status hutan mereka. Hutan adat di areal izin sawit dan perusahaan merasa tidak bersalah menebang. NB menyatakan telah memiliki izin olah kayu. “Kami turun ke lapangan dan sering lihat tanaman sagu, kalau kalau tidak ada pengawasan itu ditebang. Kami sangat kecewa karena itu makanan kami,” kata Kaiwai.

Kaiwai khawatir. Warga di Wanggar Pantai berada di dua sungai sangat besar: Sungai Wanggar dan Sungai Yaro. Dia berharap, blok P dan Q tidak menebang sampai ke perkampungan warga karena mengancam keamanan lingkungan. “Hutan kami sudah gundul.”

Tak jauh beda dengan warga lain. Iwan Hanibora juga mempertanyakan, izin pengelolaan hutan oleh perusahaan sawit di tanah Papua. Saat ini, ada dua perusahaan  menguasai areal 17 ribu hektar itu, NB dan PT Sariwana Perkasa. “Izin itu punya yang mana tidak jelas. Yang kami tahu izin untuk PT Nabire Baru.”

Nikanor Kaiwai, warga lain memandang ada sisi positif dengan kehadiran sawit ini. “Kami merasa bagaimana ya. Seperti di wilayah kami, khusus di kilo 10 itu sudah terbuka luas. Selama selama tahun ini ada beasiswa dan ada pendapatan masyarakat, dulu sulit dapat uang.”

Hengky Akubar, Asisten NB tak menampik ada dampak negatif kebun sawit tetapi banyak keuntungan. “Kami dulu melaut dan satu bulan hanya dapat Rp300-400 ribu. Setelah kerja di sini, kami dapat Rp1,5 juta per bulan. Mama-mama yang dulu tidak dapat apa-apa dan hanya pergi cari ikan, sekarang bisa pegang uang. Jadi, kami mau juga perusahaan tetap jalan.”

Susana Inggelina Weiwai, perempuan asal Kampung Yaur mengatakan tak ada pilihan lain. “Saya ini pengangguran. Masih banyak anak perempuan pengangguran. Kami punya adik-adik banyak. Jadi, kami pu bapak dong bermasalah karena kami anak-anak butuh makan.”  “Kami punya hutan sagu dan tempat cari babi dong su tebang habis. Jadi, biar sudah perusahaan jalan saja. Biar kami kerja di sana.”

Badan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Papua, tak mengeluarkan izin bagi NB melanjutkan usaha perkebunan sawit. Pada Oktober 2012, badan ini sudah dua kali menulis surat kepada NB. Intinya, meminta segera analisis Andal. Selama belum ada Amdal, perusahaan diminta setop operasi.

Kebun sawit yang telah berjalan dua tahun itu terhenti. Ribuan buruh merana, dikabarkan upah mereka belum dibayar. Berita sebelumnya

Pada Desember 2012, pemerintah Kabupaten Nabire menyampaikan kepada Gubernur Papua agar proses Amdal PT Nabire Baru (NB) diproses. Intinya meminta Badan Pengelolaan dan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Papua (BAPSDALH) memberikan rekomendasi Amdal. Permintaan ini karena ada aspirasi dari masyarakat pemilik hak ulayat kepada Gubernur Papua, DPRP, dan Mejelis Rakyat Papua (MRP).

BAPSDALH Papua, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Nabire, dan NB pun menggelar konsultasi publik pada Kamis, 4 April 2013 di halaman SD Kampung Sima, Distrik Yaur.

Hadir dari PT Widya Cipta Buana sebagai konsultan, Bupati Nabire diwakili Asisten III, Blasius Nuhuyanan,  Ketua DPRD Nabire, Titi Yuliana Marey, masyarakat pemilik hak ulayat, wakil karyawan dan berbagai pihak.

Dari PT Widya Cipta Buana menyampaikan proses Amdal sesuai amanat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2012  tentang Pedoman Keterlibatan Masyaralat dalam Proses Amdal dan izin lingkungan. Juga Keputusan Gubernur Irian Jaya Nomor 37 tahun 2007 tentang Keterbukaan Informasi dan Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Amdal.

Konsultan itu menyebutkan, NB, sesuai amanat UU telah mengumumkan rencana usaha atau kegiatan perkebunan sawit  itu melalui Harian Cenderawasih Pos, Edisi 1 April 2013 di Jayapura. Juga, pertemuan guna menampung aspirasi masyarakat dalam proses pembuatan dokumen Amdal.

Proses Amdal, akan dilakukan diketuai Asiz Ahman, dengan anggota Rudi Lasmono (ahli lingkungan), Iwan Setyawan (ahli kualitas udara dan kebisingan), Bambang Setyadi(ahli Biologi),  dan Wawan Sermawan (ahli teknik industri).

Dalam konsultasi publik itu, konsultan juga menyampaikan dampak negatif dan positif atas kehadiran perusahaan itu. Dampak positif terbuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat, fasilitas sosial dan fasilitas umum bertambah, peningkatan pendapatan dan penduduk, peningkatan kesejahteraan taraf hidup.

Lalu, hal negatif, terjadi perubahan vegetasi yaitu dari hutan menjadi tanaman sawit, penurunan kualitas air permukaan, dan penurunan kualitas udara dan kebisingan. Lalu, peningkatan temperatur udara lokal atau iklim mikro, sanitasi lingkungan, terjadi penambahan penduduk karena penambahan tenaga kerja, serta terjadi gangguan keamanan lingkungan.

Menurut mereka, dampak negatif ini baru dilihat secara umum,  dan akan kembali menganalisis dengan mengambil data ke masyarakat untuk melihat kondisi rill.

Pantuan Mongabay, konsultasi publik di sesi dengar pendapat, diwarnai adu mulut dan saling dorong antarwarga. Warga ada yang terang-terangan menolak kehadiran sawit. “Ini sudah dua tahun kerja. Lagi pula, hutan kami sudah habis baru dilakukan Amdal. Kenapa lama-lama?” kata seorang warga. Warga lain pasrah karena hutan sudah habis, sawit boleh masuk.

Iwan Haneroba, intelektual Suku Yerisiam, menilai, sejak awal NB Baru telah menunjukkan pengabaian hak-hak masyarakat adat. “Jangan buat program-program yang sebenarnya belum saatnya dilakukan sedangkan hak rakyat belum diselesaikan.”

Iwan berharap, walaupun Amdal sudah terlambat, dalam proses nanti bisa melibatkan orang-orang Papua. Saat ini, banyak orang Papua di Universitas Cendrawasih dan UNIPA ahli lingkungan, ahli kualitas udara dan kebisingan, ahli Biologi, dan ahli teknik industri. Dia juga menyarankan, melibatkan Antropolog orang Papua yang tahu kondisi sosial-budaya masyarakat, lebih penting mengikutsertakan juga masyarakat.

Pada kesempatan itu, Kepala Badan Pengelolaan dan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Papua, Noak Kapisa mengatakan, salah satu tugas Amdal adalah mencari siapa yang menebang kayu hingga habis. “Ke mana dan siapa yang ambil hasil adalah tugas Amdal. Kayu yang bernilai harus dinilai. Kayu ini akan habis karena ini kebun sawit. Suku-suku yang kena dampak harus dipetakan semua.”

Dia menyarankan, proses Amdal melibatkan orang Papua. “Harus orang asli Papua. Karena ada pohon anti ular dan lainnya. Saya pesan sagu itu penting.” Sisi lain, kata Kapisa, memastikan semua keluhan masyarakat harus masuk dalam dokumen Amdal. “Saya datang diskusi untuk memastikan semua itu.”

Kapisa mengatakan, kesejahteraan yang diharapkan melalui sawit ini hanya bisa tercapai jika ada kerja sama dari segala pihak, baik pemerintah, masyarakat dan aparat setempat.

R Hanebora, Aktivis Liga Perjuangan Nasional Rakyat Papua Barat menegaskan,  adanya NB tentu akan berpengaruh bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat di sekitar.  Perusahaan ini, akan menimbulkan hal-hal positif atau negatif yang merugikan masyarakat.

“Saya melihat hal negatif lebih banyak  dari hadirnya perusahaan ini. Sudah cukup masayarakat Suku Komoro di Timika ditipu PT Freeport Indonesia, jangan lagi masyarakat suku Yerisiam ditipu PT Nabire Baru,” katanya.

Pengabaian hak-hak masyarakat dan konflik antarwarga mengawali kehadiran perusahaan ini. “Teka-teki di awal, mudah-mudahan bukan skenario perusahaan yang lebih hadulu pelajari kondisi masyarakat dan permainkan rakyat dan hutan mereka. Kasihan masyarakat, hutan mereka telah dan akan hilang.”

Mongabay berupaya menghubungi perwakilan perusahaan, namun tak berhasil. Nomor telepon pimpinan perusahaan, sulit dikontak. Investor NB tidak bisa berkomentar banyak soal ini karena kendala bahasa. Dia tidak bisa berbahasa Indonesia dan berbahasa Inggris dengan baik.

(Sumber : Mongabay)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *