Ratapan di Tanah Kaya
Tragedi kemanusiaan kembali melanda Papua. Dari data yang masih simpang siur dilaporkan sebanyak 95 orang dilaporkan meninggal dunia akibat busung lapar dan minimnya pelayanan kesehatan di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat. Jumlah sebanyak itu merupakan akumulasi sejak November 2012.
Peristiwa tersebut tentu cukup memprihatinkan, mengingat Tanah Papua begitu kaya dengan sumber daya alam yang melimpah. Hal itu seolah menjadi ironi, betapa kekayaan alam yang ada belum mampu menyejahterakan rakyat setempat. Justru sebaliknya, rakyat selama bertahun-tahun tak mampu keluar dari kubangan kemiskinan.
Sebelumnya, empat tahun silam, peristiwa yang sama juga melanda Tanah Papua, yakni di Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua. Sejak Mei sampai Agustus 2009, sedikitnya 60 orang di Distrik Walma, Yahukimo, meninggal dunia karena minimnya makanan.
Tragedi serupa juga pernah terjadi tahun 2006. Saat itu pemerintah pusat langsung turun tangan. Lumbung-lumbung pangan dibangun untuk mengantisipasi gagal panen. Setelah beberapa saat berselang, lumbung-lumbung itu kembali kosong dan warga pun kelaparan.
Dari serangkaian tragedi kemanusiaan yang terus berulang tersebut, kita melihat betapa pemerintah terkesan lamban dan tidak responsif memotret persoalan yang dihadapi warganya. Kasus kematian 95 warga di Tambrauw, misalnya, justru diungkapkan oleh LSM. Hal ini membuktikan ada jarak antara pemerintah setempat dan warga, dan ketidakpekaan aparat melihat ke bawah.
Hal yang mengherankan, jumlah 95 orang meninggal itu merupakan akumulasi sejak November 2012. Artinya selama hampir lima bulan, peristiwa mengenaskan yang merenggut nyawa puluhan orang luput dari perhatian pemerintah setempat. Pemerintah tidak hadir membantu dan membiarkan rakyatnya dibiarkan bergelut dengan segala persoalan.
Padahal, status otonomi khusus (otsus) yang diberikan pemerintah pusat ke dua provinsi di Papua, yakni Papua dan Papua Barat, juga diikuti dengan pengucuran dana otsus triliunan rupiah setiap tahun. Total dana otsus yang telah diberikan Jakarta sejak 2002 tak kurang dari Rp 35 triliun.
Pentingnya dana otsus tersebut, karena selama bertahun-tahun masyarakat di Papua belum sepenuhnya merasakan kesejahteraan di segala bidang, sebagaimana dirasakan saudara-saudaranya di belahan lain di bumi Nusantara ini.
Ketimpangan hasil-hasil pembangunan, mengakibatkan kondisi masyarakat di Papua dan Papua Barat, masih ada yang terbelakang. Sebut saja ketersediaan infrastruktur fisik minim, serta pembangunan bidang pendidikan dan bidang kesehatan yang belum memadai, mengakibatkan rakyat Papua masih banyak yang terbelakang.
Sayangnya, dana otsus yang sedemikian besar tersebut, belum lagi dana perimbangan yang juga diberikan pusat, belum sepenuhnya mampu menyejahterakan masyarakat Papua. Tak kurang dari 80 persen penduduk Papua hidup dalam belenggu kemiskinan dan keterbelakangan. Angka kematian ibu melahirkan pun cukup tinggi, lebih dari 1.000 kematian per 100.000 kelahiran, atau tiga kali lebih besar dari rata-rata nasional. Papua juga menjadi wilayah tertinggi dalam prevalensi HIV/AID. Inilah ironi Papua, yang didera keterbelakangan dan kemiskinan, meskipun kaya akan sumber daya alam.
Padahal, UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua mengamanatkan, sekurang-kurangnya 30 persen dari penerimaan dana otsus dialokasikan untuk biaya pendidikan, dan sekurang-kurangnya 15 persen untuk kesehatan dan perbaikan gizi masyarakat Papua. Dengan kenyataan tragedi busung lapar di Tambrauw, jelas mandat UU tersebut belum dilaksanakan secara penuh oleh pemerintah daerah setempat.
Berbagai tragedi kemanusiaan, khususnya yang menyangkut persoalan gizi dan kesehatan, seharusnya mampu membuat pemerintah daerah, didukung pemerintah pusat, lebih antisipatif. Sayangnya, yang dilakukan pemerintah sejauh ini hanya upaya mengatasi kasus per kasus, belum menyentuh akar persoalan agar tragedi kemanusiaan tak terulang kembali.
Pemerintah, selain berkewajiban melengkapi berbagai infrastruktur yang diperlukan, seperti jalan, jembatan, fasilitas kesehatan dan pendidikan, juga harus berinisiatif membuat program pemberdayaan masyarakat setempat. Pemberdayaan tersebut tentu disesuaikan dengan daya dukung dan hasil bumi setempat, agar bisa diolah menjadi bernilai ekonomis, sehingga mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat setempat.
Cerita pilu dari Tambrauw, Yahukimo, dan wilayah lain di Bumi Cenderawasih jangan sampai terdengar lagi. Pemerintah sudah saatnya lebih peka dengan segala persoalan yang dihadapi rakyatnya dan fokus membangun daerah dengan memanfaatkan segenap potensi sumber daya alam dan sumber dana yang ada.
Post Views: 1,090
Tinggalkan Balasan