Kota Nabire, Terminal Umum Peredaran Miras
Minuman Keras (Miras) merupakan suatu minuman yang mendatangkan berbagai unsur negatif dalam kehidupan manusia di muka bumi ini. Entah itu pembunuhan, pemerkosaan, lupa Tuhan, putus asa, putus sekolah, menjadi pengedar narkoba, frustasi bahkan pada taruhan nyawa.
Hal itu disampaikan Agus Tebay, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa, Universitas Satya Wiyata Mandala (BEM-Uswim) Nabire, Papua , Senin, (27/05/13).
Tebay mengatakan, Kabupaten Nabire merupakan terminal umum atas peredaran Minuman Keras di kawasan pegunungan tengah Papua.
“Dengan adanya Peraturan Daerah (Perda, red) di Kabupaten Nabire, Nomor 6 Tahun 2006, tentang Ketentuan dan Tata Cara pemberian ijin Pemasok, Pengedaran atau Panyajian Minuman Beralkohol di Nabire, telah memberikan jaminan dan dasar bagi para pemasok Miras di Nabire, terutama bapak Piter Nur Salim (Piter Sangkala) untuk memonopoli pemasokan Miras secara besar-besaran di Nabire. Kemudian Piter Sangkala mendistribusikan ke wilayah adat Kabupaten, Paniai, Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Deiyai, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Puncak Jaya dan Kabupaten Puncak Papua,” kata Agus Tebay.
Lanjut Tebay, bukan hanya distribusikan ke agen-agen di kabupaten, tetapi justru Piter Sangkala juga buka agen di tempat-tempat pertambangan illegal. “Di tempat tambang emas seperti di Kilo jalan trans Nabire-Paniai, juga dia (Piter Sangkala, red) telah membuka agen penjualan Miras, bahkan juga di areal penambangan emas di Degeuwo pun dia membuka agen penjualan Miras dengan harga-harga yang sangat tak terjangkau,” tandasnya.
Lebih lanjut lelaki tamatan SMA Negeri 1 Nabire ini menjelaskan, tak terhitung sampai detik ini manusia ciptaan Tuhan yang berdomisili di wilayah Nabire, Paniai, Dogiyai, Deiyai, Intan Jaya, Puncak Jaya dan di Puncak Papua bahkan di areal penambangan emas Degeuwo (semua kalangan) menjadi korban dari Miras.
“Karena ulah pemerintah daerah Kabupaten Nabire, maka sangat tak terhitung hingga detik ini banyak saudara, saudari, tua, muda, laki-laki, perempuan dari semua kalangan menjadi korban Miras dan akan terus-menerus berjatuhan korban jika Perda itu masih hidup,” tutur Tebay dengan nada kesal.
“Mana yang lebih penting, uang dari Miras untuk pendapatan asli daerah (PAD, red) ataukah berjuta nyawa manusia untuk masa depan Papua yang sedang berjatuhan?” tanya Agus.
Ditanya, apakah mahasiswa dan masyarakat biasa duduki lembaga legislatif untuk meminta cabut Perda tersebut, katanya, selalu mengampanyekan dengan cara aksi demonstrasi ke DPRD, tetapi mereka (DPRD, red) dengar melalui telinga kiri dan keluar melalui telinga kanan.
“Karena adanya Miras maka budaya Kepapuaan semakin hilang, Sebab itu, pada suata saat juga kami akan kembali duduki kantor bupati dan kantor DPRD Nabire untuk meminta dan menuntut agar Perda tersebut dicabut dari pangkuan pemerintah daerah kabupaten Nabire,” tandas Tebay.
(Sumber : MajalahSelangkah)
Tinggalkan Balasan