Dubes Inggris Untuk Indonesia : Inggris Tidak Mendukung Kemerdekaan Papua
Duta Besar Kerajaan Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste, Mark Canning menyampaikan tidak mendukung seruan untuk memerdekakan Papua karena Papua merupakan bagian dari wilayah Indonesia.
“Perkembangan terakhir (tentang dibukanya kantor Free West Papua di Oxford), yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pemerintah Inggris, tidak mengubah pandangan kami (terhadap Papua sebagai bagian dari Indonesia),” sebut Canning dalam pernyataan resmi yang dipublikasikan di Jakarta, Senin.
Canning mengatakan Pemerintah Inggris juga mendukung usaha-usaha yang dilakukan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) untuk mengatasi persoalan Papua.
“Kami berharap Papua mendapatkan kesejahteraan, stabilitas serta perdamaian yang sama seperti provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Saya juga mengemukakan pandangan ini kepada Gubernur Papua Lukas Enembe,” kata Canning.
Canning menyampaikan pandangan Pemerintah Inggris dalam pertemuannya dengan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa terkait kantor Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Pada Sabtu, Kementerian Luar Negeri menyampaikan protes keras dan keberatan atas pembukaan kantor OPM di Oxford Inggris.
“Dubes RI di London telah menyampaikan posisi pemerintah tersebut kepada pemerintah Inggris dan hal yang sama akan kami sampaikan kepada Kedubes Inggris di Jakarta,” kata Marty.
Bagian dari Demokrasi
Sementara itu, Ketua Komisi A DPR Papua bidang Pemerintahan, Hukum dan HAM Ruben Magai mengemukakan, pembukaan kantor Organisasi Papua Merdeka [OPM] di Oxford bukan berarti Inggris mendukung Papua memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia [NKRI].
“Pembukaan kantor OPM tersebut jangan dilihat dari sisi politik, tetapi hal tersebut sebagai bagian dari hak berdemokrasi yang selama ini diperjuangkan oleh Benny Wenda,” kata Magai kepada wartawan, Senin [6/5] kemarin.
Menurutnya, pembukaan kantor OPM di Oxford Inggris bukan berarti pemerintah Inggris mendukung Papua Merdeka, namun karena melihat itu hal tersebut sebagai bagian dari hak demokrasi yang selama ini diperjuangkan Benny Wenda.
“Karena di Papua demokrasi dibatasi membuat mereka membuka kantor OPM di Inggris yang menjunjung tinggi demokrasi. Jadi jangan dilihat dari sisi politik. Tapi ini sisi kebijakan politik luar negeri Inggris. Mereka menganggap itu bagian kampanye pelanggaran HAM yang terus terjadi di Papua. Dari sisi politik, Inggris mengakui Papua bagian dari NKRI. Tapi aktivitas di sana bagian dari kampanye HAM dan kebebasan berdemokrasi,”ungkapnya.
Dikatakannya, orang Papua telah meminta pelurusan sejarah dan dialog karena adanya masalah di Papua, Inggris tidak mendukung dari sisi kebijakan politik untuk Papua memisahkan diri tetapi Pemerintah Inggris melihat dari sisi HAM.
“Di Papua ini kan demokrasi dan HAM diatur, jadi ketika OPM buka kantor di Inggris orang mulai kelabakan karena hanya melihat dari sisi kebijakan politik. Inggris tidak mendukung dari sisi politik, tapi dari sisi HAM. Hadirnya beberapa pejabat di Oxford termasuk Wali Kota Oxford dan DPR di sana saat peresmian kantor, itu bagian dari dukungan,” lanjutnya.
Mereka juga tahu apa yang terjadi di Papua selama ini. Saat Indonesia mengatur HAM dan demokrasi, negara luar justru mendukung dan memberikan kebebasan berdemokrasi. Ketika Inggris mengijinkan Benny Wenda membuka kantor semua pihak bingung, ujarnya.
Dikatakan, kampanye isu Papua Merdeka jangan diterjemahkan lain. Jangan disalahartikan. Simpati pelanggaran HAM di Papua dari dunia sangat besar karena demokrasi di Papua dibungkam.
Solusinya sudah jelas yakni pelurusan sejarah dan dialog. Konsep dan skema dialog sudah diberikan ke Jakarta sekarang tinggal bagaimana konsep dari pihak Jakarta untuk disandingkan. Jadi Jakarta jangan kaget dengan masalah ini karena Inggris mendukung dari sisi HAM dan demokrasi.
“Jangan saat Inggris mengijinkan Benny Wenda buka kantor OPM di sana baru kita mau menyalahkan mereka. Padahal mereka melihat dari sisi HAM dan Demokrasi,” kata Magay.
(Sumber : PapuaPos)
Tinggalkan Balasan