Bahas Hak Milik Tanah Suku-Suku Di Papua, Direktur Lemasa Timika & Sekretaris II DAP Temui Menteri ESDM
“Kami berharap ikut terlibat dalam kesepakatan yang baik untuk masyarakat setempat. Nah itu yang kami datang dan bicara dengan Pak Menteri. Kami sangat mengapresiasi apa yang telah dilakukan,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Masyarakat Adat Amungme (Lemasa), Odizeus Beanal B.Sc saat konferensi pers di Kantor Kementerian ESDM, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Senin 4 September 2017.
Odizeus menjelaskan, pertemuan dengan Jonan membahas terkait dengan hak milik tanah suku-suku di Papua. Masyarakat adat sebagai pemilik tanah meminta wujud nyata dari kedaulatan pemilik tanah kepada Freeport dan Jonan setuju memfasilitasinya.
“Pak menteri menyetujui untuk dapat memfasilitasi pertemuan antara masyarakat, Freeport dan juga pemerintah,” ucap dia.
Namun, ketika ditanya dalam bentuk apa kedaulatan atas tanah tersebut, Odizeus menyerahkan sepenuhnya kepada perundingan nanti yang difasilitasi oleh pemerintah. Ia mencontohkan bisa memasukannya dalam bagian divestasi.
“Apakah nanti saham atau bagi hasil dari laba kotor seperti yang sekarang, itu nanti merupakan hasil dari perundingan yang dimaksud,” imbuh dia.
Selain masyarakat Amungme, Odizeus menambahkan masyarakat suku Komoro juga berhak mendapatkan hak ulayat? tersebut. Sebab Amungme dan Komoro adalah suku yang terkena dampak langsung dari kegiatan tambang Freeport. Suku Amungme adalah suku yang berada di gunung dan Komoro adalah suku yang berada di pesisir pantai.
Lebih lanjut, Perwakilan Dewan Adat Papua Wilayah Meepago, John Gobai menambahkan, selama ini masyarakat hanya mendapatkan dana 1 Persen untuk kegiatan CSR. Menurutnya, dana CSR tersebut tidak bisa mewakili hak masyarakat adat atas gunungnya
“Kami meminta hak kami, gunung kami sudah habis dan apa kira-kira yang harus kami dapat. Dengan keputusan yang sudah ada kami pikir pemerintah sudah memiliki bargaining power yang baik dan kami ingin supaya pemilik wilayah dilibatkan dan kami jadi satu kesatuan. Jadi win-win solution,” kata John.
Perwakilan Dewan Adat Papua Wilayah Meepago, yang juga Sekretaris II DAP, John Gobai juga menyampaikan harapan dari Masyarakat Adat Papua kepada mentri ESDM, yang didampingi, Sekjen Kementrian ESDM, DIRJEN MINERBA, Kepala Biro Hukum Kementrian ESDM dan Staf Khusus Mentri ESDM RI.
“Kami meminta ada waktu khusus untuk berbicara tentang hak pemilik tanah sebagai wujud nyata dari kedaulatan pemilik tanah. Menteri ESDM menyetujui untuk dapat memfasilitasi pertemuan antara masyarakat, PT Freeport Indonesia, dan Pemerintah dalam kerangka perundingan Freeport ini. Nanti apakah kerangka divestasi itu 5%kah itu nanti tergantung dari hasil perundingan, apakah nanti saham ataukah bagi hasil dari laba seperti sekarang,” sebutnya.
Perundingan tersebut, tambah John, penting, sebagai langkah penting bagi kedaulatan pemilik tanah serta pengakuan Negara kepada pemilik tanah yang harus dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 18b ayat (2), yakni negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Proses penyelesaian masalah dalam masyarakat sudah biasa dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun, sebelum ada Negara dan segala Lembaga Yudikatifnya. Dalam penyelesaian masalah dalam masyarakat adat juga kita memiliki cara untuk melakukan pembuktian secara adat.
Dalam masyarakat juga ada orang yang memang mempunyai kharisma atau dipercaya dapat menyelesaikan masalah yang disebut Menagawan. Dalam masyarakat juga terdapat norma norma adat yang kemudian jika dilanggar maka ada sanksi yang dijatuhkan kepada pihak yang melanggar norma tersebut.
Setelah adanya Negara, dengan Badan Yudikatifnya, seperti; Pengadilan, Kejaksaaan dan Kepolisian, kami menyadari bahwa apa yang dahulu dan sekarang masih dilakukan oleh Masyarakat Adat Papua, itulah yang disebut dengan Proses Peradilan. Bedanya adalah dalam Masyarakat Adat dapat dilakukan semua fungsi oleh satu kelompok atau satu orang yang memang dipercaya ahli dalam memecahkan masalah dan adil dalam mengambil keputusan.
Dalam Suku Amungme orang yang menyelesaikan masalah disebut Menagawan. Dahulu Para Menagawan menyelesaikan masalah di Isorei, sekarang LEMASA adalah Isorei.
Pengertian Peradilan Adat
Dalam Perdasus No 20 Tahun 2008 disebutkan Peradilan Adat merupakan Pengadilan perdamaian dalam masyarakat adat, hal ini tentunya benar sebab dalam proses peradilan adat kadang kala menghasilkan sebuah perdamaian karena tiap pihak diberikan keleluasaan untuk berbicara, sehingga secara psikologis ada kepuasan untuk para pihak, dalam prosesnya peradilan adat juga merupakan sarana untuk saling memberikan peringatan atau nasehat dari masyarakat secara umum tetapi terlebih lagi dari orang yang terpercaya atau terpandang atau pimpinan adat dalam masyarakat adat. Peradilan Adat bukan bagian dari Peradilan Negara, melainkan Lembaga Peradilan Masyarakat Adat Papua. Pengadilan adat adalah lembaga penyelesaian sengketa atau perkara adat dalam masyarakat hukum adat tertentu di Papua; Dengan dasar ini maka LEMASA mendorong membentuk PENGADILAN ADAT DI AMUNGSA.
Wewenang Pengadilan Adat
Pengadilan adat berwenang menerima dan mengurus perkara perdata adat dan perkara pidana adat di antara warga masyarakat adat di Papua. Pengadilan adat dapat menerima dan mengurus perkara yang terjadi antara orang asli Papua dan bukan Papua jika ada kesepakatan di antara para pihak.Perkara adat yang tidak bisa diselesaikan melalui kewenangan peradilan adat dapat diselesaikan melalui mekanisme peradilan umum.
[Nabire.Net/John.N.R.Gobai]
Tinggalkan Balasan