MRP & DPRP Otsus Papua, Sebuah Evaluasi Untuk Pansel Papua

(Gedung DPRP Jayapura)



Jayapura – Hasil seleksi DPRP kursi otsus baru saja diumumkan 1 Juli 2020. Ada pro kontra terkait hasil yang dianggap sangat diskriminatif, dan ini masif dilakukan berulang-ulang. Suku Nabire pesisir dan Kamoro yang ada di wilayah Meepago kerap kali tersingkir dalam tahapan seleksi.

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2021 yang mengamanatkan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Rakyat Papua (DPRP) versi Otsus atau lazim dikenal DPR kursi otsus menuai kritik ditengah orang asli Papua.

Kursi yang hari ini menjadi rebutan masyarakat adat di wilayah-wilayah pemilihan mendapat protes dari masyarakat Papua yang selama ini tidak diakomodir oleh pansel dalam proses seleksi suara-suara hari ini misalnya lebih banyak datang dari daeran pemilihan Meepago yang membawahi: Nabire, Dogiyai, Deyai, Paniai, Intan Jaya dan Timika.

Misalnya Nabire yang terdiri dari 6 suku pesisir dan satu suku pegunungan, dimana dalam perekrutan kursi di dua lembaga ini masyarakat pesisir selalu tersingkir.

Apakah ini bagian dari kerja pansel atau ada perlakuan diskriminasi etnis mayoritas kepada etnis minoritas ? Jawabannya biarlah Tuhan yang tahu.

Saya lebih menyoroti kepada evaluasi pansel yang kiranya catatan saya ini menjadi masukan kepada Gubernur provinsi Papua kedepan.

1. Pansel Harus Menguasai Geopolitik Wilayah

Ketua Pansel dan anggotanya wajib mengetahui dan menguasai Papua secara utuh tentang masyarakat adat disetiap wilayah adat yang ada. Katakanlah Meepago, seorang pansel harus mengetahui dan mendalami geopolitik di wilayah ini, eskalasinya seperti apa, bagimana respon masyarakatnya, suku-suku apa yang mendiami wilayah ini.

Sehingga nanti pada tahapan seleksi ada nilai-nilai keadilan yang dipakai sebagai landasan putusan bukan pada narasi kekuasaan dan titipan calon.

Begitu juga misalnya suku Kamoro di Timika. Sengaja saya fokus pada suku pesisir Nabire dan Kamoro karena dua suku ini korban dari wilayah adat yang dikuasai oleh suku-suku mayoritas di pegunungan. Saya lebih suka menamakan situasi ini dengan penjajahan etnis.

2. Ubah Cara Perekrutan

Saya menilai sistem perekrutan hari ini yang dilakukan oleh pansel baik pansel MRP dan DPRP kursi otsus, terlalu formil membuat unsur keterwakilan yang semestinya datang dari unsur Roh adat hilang. Nilai-nilai kearifan tidak termuat, yang datang duduk pun tidak mewakili atau representasi dari wilayah adatnya.

Misal sistem perekrutan diubah dan dilakukan mulai dari tahapan suku-suku. Misalnya di Nabire ada 6 suku. Rekomendasi calon dimulai dari musyawarah suku, ditetapkan dan diusulkan, bukan seperti yang sekarang formalitas asal ada rekomendasi lalu barang jalan.

Agar tahapan ini murni dari unsur adat atau nilai kearifannya ada, pansel tidak perlu harus lihat rekomendasi Bupati atau Gubernur. Kalau itu yang terjadi, maka sepeti yang sudah saya sampaikan, ada diskriminasi kekuasaan yang menonjol dan akhirnya bahasa yang tepat adalah Papua Makan Papua atau Papua Tipu Papua.

3. Calon Harus Pintar

Ini unsur lain yang menyangkut privasi pendidikan, menjadi alat pendukung untuk jadi kriteria pansel. Agar calon-calon itu berbobot dalam lembaga yang terhormat ini.

*Penulis, Nuel.A

[Nabire.Net]


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *