Mengenal Sosok Maria Yeti Kapitarauw, Pahlawan Bagi Kaum Difabel & Yatim Piatu Dari Nabire
Nabire, Tak pernah terpikirkan sebelumnya bagi Maria Yeti Asri Saputri Kapitarauw S.Sos untuk melayani para penyandang disabilitas maupun anak yatim piatu. Tetapi semua itu berawal dari mimpi yang ia alami di tahun 2012, sehingga membuat dia mantap untuk terjun melayani kaun disabilitas maupun anak-anak yatim piatu.
Di hari Pahlawan 10 Nopember 2021 ini, Nabire.Net mencoba berkenalan dan ingin bercerita lebih jauh dengan sosok Maria Yeti Asri Saputri Kapitarauw yang bisa dianggap sebagai pahlawan bagi para penyandang disabilitas (difabel) maupun anak-anak yatim piatu yang ia layani, terlebih khusus di Nabire, Papua.
Perempuan yang lahir di Solo Jawa Tengah ini, selama ini berjuang di Papua dengan biaya sendiri untuk melayani mereka yang memiliki keterbatasan fisik (cacat/disabilitas), baik secara fisik maupun mental.
Selain itu, ia juga melayani anak-anak yatim piatu yang ditinggalkan orang tuanya karena meninggal, atau karena suatu keadaan tertentu.
Semua Berawal Dari Mimpi
Mimpi itu diawali tahun 2012, saat Maria bermimpi menjadi sopir untuk kendaraan yang dia bawa, dan isi kendaraan itu adalah mereka yang kondisi tubuhnya tidak sempurna. Mereka kemudian dibawa ke sebuah taman yang indah, dan di dalam mimpinya, Maria bermain bersama-sama dengan mereka di taman tersebut dengan penuh sukacita dan kebahagiaan.
Mimpi yang ia alami tersebut membuat dirinya termotivasi untuk terjun langsung melayani para penyandang disabilitas.
“Saya awali tahun 2012, walaupun saya tidak punya basic sebagai guru SLB atau pendeta, atau apa saja, saya hanya orang biasa yang memberanikan diri utk mengikuti panggilan hati utk pelayanan disabilitas ini Awalnya saya mulai bertemu dengan mereka penyandang disabilitas, lalu saya kumpulkan dan bina mereka di sanggar difabel. Disitu mereka dibina dalam pengembangan bakat dan talenta, seperti modelling school, dance tradisional dan lainnya,” katanya.
Setelah itu, Maria tertarik membuat difabel cafe dengan konsep makan dan minum sepuasnya tetapi membayar seikhlasnya. Di cafe tersebut, dia mempekerjakan para penyandang disabilitas, dan dia mempersiapkan kotak amal yang peruntukkannya bagi para penyandang disabilitas tersebut.
“Untuk menopang pelayanan kami, tentu menbutuhkan biaya yang sangat besar. Saat ini melalui pekerjaan pribadi yang saya miliki seperti butik, homestay, seniman dan lain sebagainya, penghasilannya saya curahkan untuk pelayanan ini. Karena saya tidak bisa berharap kepada pemerintah maupun sejumlah donatur yang bisa rutin membantu pelayanan ini,” tutur Maria.
Maria juga membuat terapi difabel mulai dari terapi wicara. “Dalam program ini, kami on progress untuk okupasi, fisioterapi, terapi dengan, dan sebagainya bagi mereka kaum difabel. Biaya saya tidak berlakukan seperti sanggar atau cafe, tetapi semuanya sukarela. Namun tenaga terapisnya tetap mendapat kompensasi.
“Saya di Papua juga untuk pelayanan, semua hanya panggilan hati saya secara kemanusiaaan, semua berawal dari mimpi di tahun 2012 itu. Di Papua saya hanya tampung mereka di sebuah rumah milik keluarga, awalnya utk orang-orang difabel dan cacat, lalu kemudian datang anak-anak yatim piatu. lalu saya tampung dan kita tinggal sama-sama.
“Penampuangan itu sedang saya perbaiki, saya berdoa penampungan itu lebih layak, baik dan sehat bagi mereka yang tinggal disana, mengingat papua rentan dengan sakit malaria dll. Pnampuangan juga berfungsi sebagai sekretariat,” ujarnya.
Lanjut Maria, di awal Oktober 2021, ia mendapat surat ijin dari Dinas Pendidikan Nabire untuk membuka Difabel Homeschooling yang diperuntukkan khusus bagi anak-anak difabel yang tidak bersekolah di SLN karena keterbatasan fisik yang parah, atau tidak memiliki biaya.
“Saya sudah diskusikan itu dengan Kepala Dinas Pendidikan dan kami menggodok konsep difabel homescholling itu. Saya berharap Difabel homeschooling ini bisa diresmikan dan dilaksanakan sebagai pilot projet di Papua danĀ bisa menampung anak-anak yang cacat parah, jauh dari sekolah, atau terbentu biaya,” papar Maria.
Kendala yang Dihadapi Dalam Pelayanan
Lalua apa yang selama ini menjadi kendala bagi pelayanan Maria dalam pelayanannya kepada Kaum Difabel & Yatim Piatu Dari Nabire? Kendala utama itu adalah pendanaan. Dari tahun 2012 hingga hari ini, 95% pendanaan berasal dari dana pribadi Maria.
“Dalam saat-saat tertenu, saya merasa berat. Tetapi Tuhan selalu memberikan jalan keluar, baik lewat teman atau dari hamba-hamba Tuhan. Uang itu untuk membayar pajak, listrik, air, wifi, makanan, dan lain sebagainya, karena dari pemerintah belum ada campur tangan langsung dari pemerintah walaupun ini adalah tugas dari Dinas Sosial atau Dinas terkait, tapi bagi saya tidak masalah, karena ini panggilan hati saya sendiri yang berawal dari mimpi dan petunjuk Tuhan, harap Maria.
Maria pun harus berbagi waktu dan pikirannya sendiri, kapan dia harus bekerja mencari uang dan kapan harus pelayanan.
“Dalam 18 jam sehari, saya gunakan untuk pelayanan. pekerjaan pribadi saya dan saya bersyukur Tuhan berkati dengan lancar walau di tengah kondisi pandemi. Meskipun ada eberapa butik saya yang terpaksa harus tutup karena pandemi dan musibah, tetapi saya bisa terbantu dengan usaha lain dari homestay,” bebernya.
Apa Harapan Maria Dari Pelayananannya Saat Ini ?
Maria berharap kepada warga masyarakat agar bisa mensupport kaum disabilitas dan anak yatim piatu yang ia layani, dengan menghubunginya di nomor telepon 0821 3303 4656.
“Saya berharap dan saya ajak semuanya untuk kita bersama-sama menjadi berkat buat mereka kaum disabilitas maupun anak yatim piatu agar hidup kita bisa menjadi berkat buat mereka, mungkin waktu kita, tenaga dan pikiran kita, materi kita seperti sembako, pakaian, atau apapun yang bisa menjadi berkat bagi mereka,” harap Maria.
Maria juga berharap ada campur tangan dari pemerintah sesuai pasal 33 UUD 1945 bahwa ada perhatian dan bantuan khusus untuk kaum difabel maupun mereka yang diasuh dibawah yayasan Difabel ini.
“Selain pemerintah, masyarakat sekitarnya juga kata Maria bisa menerima keberadaan kaum difabel di lingkungannya bukan sebagai makhluk yang dijauhi dan tidak bisa dijadikan teman, tetapi mereka bisa diajak untuk berkumpul bersama melalui media-media yang kami punya seperti difabel cafe, sanggar difabel, difabel terapi, penampungan difabel, difabel homeschooling atau tempat-tempat yang saya peruntukkan untuk semacam inklusi sehingga terjadi pembauran antara yang difabel dengan orang-orang umum yang normal atau masyarakat,” pungkas Maria.
[Nabire.Net]
Tinggalkan Balasan