“Manipulasi Berbalut Feodemokrasi & Teknokrasi Dangkal Menjelang Pilbub Nabire 2020”

(Pilkada Nabire 2020)

Nabire – Saya pribadi cukup terkejut dengan kiriman pernyataan pers Marselus Gobay selaku ketua DPC Partai Demokrat Kabupaten Nabire, yang dikirim via WhatsApp kepada saya, pada Rabu (05/08/2020). Dimana intinya menegaskan bahwa Pengurus  DPC Partai Demokrat Kabupaten Nabire menuntut status kepartaian bakal calon Wakil Bupati Nabire, Muhammad Darwis, sebagai kader terbaik dari Partai Demokrat Nabire.

Bahkan kejadian ini juga menjadi Headline dari beberapa media online lokal di Nabire, seperti: www.nabire.net pada Rabu 5 Agustus, 2020; www.nabire.info pada Kamis, 06 Agustus 2020; dan www.suaranabire.id pada Kamis 06 Agustus 2020, serta www.nabirenews.com pada Jumat 6 Agustus 2020.

(Baca Juga : Ketum DPC Demokrat Nabire Minta Ketum DPC PKB Nabire Klarifikasi Status Bacalon Wabup Nabire)

Awal kejadiannya, pada 20 Juli 2020, DPC Partai PKB Nabire secara sepihak melayangkan surat kepada Ketua Umum DPP Partai Golkar di Jakarta dengan mencantumkan nama bakal calon Wakil Bupati Nabire: “Muhammad Darwis” sebagai kader terbaik Partai Demokrat kabupaten Nabire yang akan menjadi bakal calon Wakil Bupati Nabire berpasangan dengan bakal calon Bupati Nabire, Yuvinia Douw.

Ternyata, surat tersebut hanyalah kamuflase dan penipuan publik, mengingat nomor KTA Demokrat seperti yang tercantum dalam surat yang ditujukan kepada DPP Ketum Partai Golkar bukanlah kode penomoran KTA Demokrat jika mengacu pada penulisan nomor KTA Partai Demokrat. Bahkan terhadap surat tersebut, Marselus Gobay selaku Ketua Umum DPC Partai Demokrat Nabire dengan tegas meminta kepada Ketua Umum DPC Partai PKB kabupaten Nabire untuk segera mengklarifikasi hal tersebut kepada DPC, DPD dan DPP Partai Demokrat, dan juga DPC, DPD dan DPP Partai Golkar.

Singkat cerita, Marselus Gobay tegas menyatakan bahwa Muhammad Darwis bukan pengurus ataupun kader Partai Demokrat kabupaten Nabire sehingga ia meminta kepada Ketua DPC Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) kabupaten Nabire untuk segera mengklarifikasi keterangannya berkaitan dengan status kepartaian bakal calon Wakil Bupati Nabire, Muhammad Darwis sebagai kader terbaik Partai Demokrat Nabire. Bahkan anehnya lagi,bahwa Muhammad Darwis baru mengurus KTA Partai Demokrat secara online (KTA Online) pada tanggal 21 Juli 2020, atau satu hari setelah surat dari DPC Partai PKB Nabire keluar.

Ya, inilah sebuah fenomena yang sungguh tidak terpuji yang dipertontonkan beberapa politisi di daerah ini. Entah apa sebenarnya tujuan di balik perbuatan konyol ini, yang  jelas publik Nabire sangat kecewa dan tidak tanggung-tanggung mengecam perbuatan tersebut.

Ketika hal ini saya konfirmasikan kepada seorang sahabat saya di bangku SMA dulu,  ia mengatakan secara singkat bahwa inilah salah satu potret ketidakdewasaan para politikus daerah ini. “Sangat disayangkan, apalagi latar belakang pak Darwis sebagai tokoh agama yang tidak selayaknya ada manipulasi kesertaan pada parpol instant, dan ini menciptakan tendensi buruk,” demikian petikan ungkapan kekecewaan yang dikatakan sahabat SMA saya.

Bahkan Johan Kudiyai, seorang adik yang merupakan salah satu aktivis kemanusian yang sangat kritis di kota Nabire menandaskan kepada saya via Whatsapp, bahwa “pemimpin yang menjadi panutan, bahkan yang menjadi teladan banyak kalangan, justru mempertontonkan kenekatan dalam mengekppresikan ambisinya dengan retorikan yang merasionalisasikan aksinya, seolah pemeran film di 2 karakter: Politik dan Ormas lainnya.

Saya pikir ungkapan sahabat SMA saya yang tidak ingin disebutkan namanya dan adik kami Johan Kudiyai, seyogyanya sudah bisa merepresentasikan rasa kekecewaan sebagaian masyarakat Nabire terhadap kejadian yang terlanjur terjadi ini.

Saya sendiri selaku pendidik, sangat setuju dengan poin ke-3 dari surat penyataan keberatan saudara Marselus Gobay yang ditujukan kepada DPC Partai PKB Kab. Nabire tertanggal 5 Agustus 2020, dimana ia menegaskan bahwa perbuatan tersebut adalah sebuah “manipulasi”.

 Ya, kata “Manipulasi”.  Kata ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki banyak pengertian. Namun berdasarkan konteks kejadian, tentu makna “manipulasi’ dalam fenomena sebagaimana yang dimaksudkan saudara Marselus Gobay adalah pengertian yang merujuk pada “penggelapan” atau “penyelewengan”. Artinya bahwa sudah terjadi penyalahgunaan atau suatu perbuatan yang menyimpang dari Pengurus DPC Partai PKB Kabupaten Nabire yang memanipulasi status kepartaian bakal calon Wakil Bupati Nabire, Muhammad Darwis, sebagai kader terbaik dari Partai Demokrat Nabire.

Mari kita cermati,

Hemat saya, fenomena ini cukup untuk mewakili kejadian-kejadian lainnya yang terjadi selama ini di kabupaten Nabire menjelang pesta demokrasi, khususnya Pilbup 2020 yang direncanakan pada 9 Desember nanti. Artinya bahwa menjelang Pilbub Nabire 2020, demokrasi justru terlihat semakin mengambil bentuk “feodemokrasi”, dimana bentuk tata politiknya terlihat demokrasi, namun sesungguhnya mental pelakunya masih kerajaan dari masa lalu, yakni mental “feodalisme”.

Maka akhirnya muncullah fenomena “teknokratisme dangkal”  yang  juga menjadi ciri unik demokrasi di daerah ini. Teknokratisme adalah paham yang menggunakan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara buta dan naif untuk memajukan sebuah bangsa.

 Ya, teknokratisme menolak pencarian ilmiah yang berbekal ketekunan, budaya egaliter dan sikap kritis. Teknokratisme hanya tertarik pada buahnya saja, yakni teknologi siap pakai, tanpa mau serius  di dalam proses pencarian dan penemuan ilmiah.

Tidak hanya sampai disitu saja, teknokratisme justru lahir dari kesalahpahaman terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Kesalahpahaman itu bercampur dengan ambisi untuk maju di satu sisi, dan kemalasan untuk belajar di sisi lain. Tampilan luar bisa modern. Gelar pendidikan bisa tinggi. Namun, tidak ada semangat pencarian kebenaran dan penemuan di dalamnya, yang justru merupakan inti dari ilmu pengetahuan dan teknologi.

FEODEMOKRASI
Enam hal kiranya menjadi dampak langsung dari feodemokrasi di daerah ini. Pertama, orang mengejar jabatan publik, seperti pegawai negeri ataupun wakil rakyat, bukan untuk melayani kepentingan bersama, tetapi untuk meraih kehormatan. Mereka ingin menjadi bangsawan-bangsawan di masyarakat demokratis. Tak heran, banyak orang yang tak kompeten justru kini menjadi pejabat negara di daerah ini.

Kedua, mental gila hormat ini terus berlanjut, ketika mereka menduduki posisi pejabat publik. Di jalan raya, mereka ingin didahulukan, walaupun tidak ada keperluan mendesak. Di berbagai forum, mereka senang diundang jadi pembicara, walaupun tak ada isi bermutu yang ingin disampaikan. Mental bangsawan semacam ini sebenarnya sudah ketinggalan jaman, dan tak layak hidup di masyarakat demokratis.

Ketiga, seperti mungkin sudah diduga, mental gila hormat bermuara pada kinerja yang buruk. Ini hampir menjadi hukum baja di dalam organisasi. Orang-orang yang hanya peduli pada kehormatan dan kekayaan tidak akan mampu memberikan sumbangan nyata bagi kebaikan bersama. Sebaliknya, mereka justru menjadi beban bagi perkembangan organisasi.

Keempat, salah satu bentuk buruknya kinerja adalah berkembangnya korupsi, kolusi dan nepotisme. Karena banyak pejabatnya ditunjuk bukan karena kemampuan, tetapi karena hal-hal lain, seperti kedekatan pribadi ataupun kemudahan melakukan korupsi, maka budaya busuk ini pun tersebar di berbagai organisasi negara. Korupsi dilakukan secara massal, dan ditutupi bersama-sama. Akibatnya, pembuktian pun seringkali sangat sulit dilakukan.

Kelima, secara keseluruhan, seluruh sistem politik pun akan menjadi lambat dan boros. Segala hal menjadi sulit dilakukan, karena harus melalui jalur birokrasi yang korup dan lambat. Suap menjadi hal yang diterima secara umum, walaupun tak disampaikan secara publik. Akhirnya bukan tidak mungkin daerah ini pun gagal dalam persaingan mewujudkan keadilan dan kemakmuran di dalam politik global.

Keenam, sesuai apa yang dikatakan adik Johan Kudiyai dibagian awal, bahwa pemimpin yang menjadi panutan, bahkan menjadi teladan banyak kalangan, justru mempertontonkan kenekatan dalam mengekpresikan ambisinya dengan retorikan yang merasionalisasikan aksinya, seolah pemeran film di dalam dua karakter sekaligus, yaitu: karakter Politik dan Ormas lainnya.

Nah, jika hal ini didiamkan, maka pembangunan SDM di daerah ini akan menjadi “gatot tak berujung” (Gatot: gagal total). Dan pada akhirnya nanti, pemerintah daerah ini akan semakin terlihat tidak mampu menyediakan keamanan, stabilitas, keadilan dan kemakmuran bagi warganya. Kemiskinan, korupsi dan kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin terjadi dimana-mana. Dan krisis lingkungan hidup akan mengikutinya.

TEKNOKRATISME DANGKAL
Demokrasi daerah ini tidak hanya terlihat feodalisme, tetapi juga teknokratisme dangkal. Empat hal kiranya perlu diperhatikan. Pertama, teknokratisme berpijak sepenuhnya pada data. Kenyataan di depan mata pun kerap kali diabaikan. Inilah yang disebut ilusi ilmiah, yakni ketika ilmu pengetahuan memberikan gambaran yang berbeda dengan apa yang sesungguhnya terjadi.

Kedua, teknokratisme adalah sebentuk kedangkalan. Teknologi digunakan untuk membangun proyek-proyek besar. Penampilan fisik jauh lebih diutamakan, daripada perubahan yang sifatnya mendasar dan berkelanjutan. Pola semacam ini bahkan sudah lama terjadi bukan saja di daerah ini, tetapi di beberapa titik dalam medan merdeka ini sejak jaman Orde Baru, dan belum berubah sampai sekarang.

Ketiga,teknokratisme tidak akan bisa menyelesaikan tantangan-tantangan daerah sampai ke akarnya. Ia bagaikan kosmetik yang menutupi jerawat, tetapi tidak menyembuhkan apapun. Jika akar masalah, mulai dari korupsi, kemiskinan, kesenjangan ekonomi, radikalisme dan persoalan lingkungan, hanya disentuh secara permukaan, maka ia akan menjadi bom waktu. Ia akan meledak di suatu waktu, dan merugikan banyak pihak.

REFLEKSI BERSAMA
Berdasarkan poin-poin yang saya uraikan diatas, menurut hemat saya, demokrasi yang berbalut feodalisme dan teknokratisme adalah demokrasi semu. Ia adalah demokrasi palsu yang hanya sekedar kata, namun tak ada isi yang bermutu. Demokrasi kosmetik semacam ini berbiaya tinggi, namun kinerjanya amat rendah.

Dua hal kiranya penting diperhatikan. Pertama, ini semua terjadi, karena miskinnya pemahaman tentang demokrasi dan modernisasi. Keduanya diimpor dari peradaban Barat, tanpa sikap kritis. Tidak ada usaha untuk mendalami sejarah dan filsafat yang mendasari demokrasi maupun modernisasi yang melahirkan teknologi dan ilmu pengetahuan modern. Kita hanya mau membeli buahnya, tanpa mau sibuk menanam.

Kedua, sikap tidak kritis di seluruh bidang kehidupan adalah akar masalah semua ini. Kita suka meniru dan bersaing, tanpa paham hakekat dari apa yang kita tiru, dan pola sesungguhnya dari persaingan yang sedang terjadi. Kita latah mengikuti daerah lain, tanpa menggunakan akal sehat dan sikap kritis. Tak heran, kita tidak hanya mengimpor demokrasi palsu dan teknologi siap pakai, tetapi juga kita sendiri sedang menggagalkan Otonomi Khusus (Otsus) yang sudah diberikan pemerintah pusat.

Dengan melampaui dua akar masalah diatas, tentu kita semua bisa mulai keluar dari jebakan feodalisme dan teknokratisme dangkal yang selama ini merongrong dan menghantui daerah kita ini. Sebagai seorang pendidik, tentu bagi saya pendidikan sangat berperan besar dalam hal ini. Pendidikan bukan hanya soal hafalan dan kepatuhan buta terhadap moral, agama dan tradisi, tetapi juga pada pemahaman mendasar soal politik, filsafat dan sejarah.

Sikap kritis dan pengembangan akal sehat juga harus menjadi roh utama pendidikan di daerah tercinta ini. Tentu hal ini bisa dimulai dengan memilih orang-orang yang bermutu di berbagai lembaga pemerintahan. Dengan begitu, berbagai kebijakan dan peraturan terbelakang bisa dimusnahkan. Kita lalu bisa sungguh-sungguh mendidik apa yang penting dan mendalam bagi semua peserta didik di tanah Papua ini, khususnya di kabupaten Nabire.

Akhirulkalam, mungkin sudah saatnya feodemokrasi dan teknokratisme dangkal kita jadikan masa lalu yang kelam di tanah ini dengan memilih pemimpin yang punya integritas dan kepedulian nyata bagi pengembangan SDM di daerah ini.

Wassalam. Hormat di’bri

Penulis, Abdy Bustha, Dosen Filsafat dan Pendidikan

[Nabire.Net]


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *