Laurenzus Kadepa : Saatnya Indonesia Berkebun

(Laurenzus Kadepa)
Jayapura – Pandemi COVID-19 tak hanya mengobrak-abrik tatanan kesehatan dan ekonomi, tapi juga memicu krisis pangan dunia. Indonesia harus bersiap menghadapi dua masalah lain: ketimpangan neraca pangan oleh aktivitas impor dan pembatasan pasokan dari negara eksportir.
Empat bulan sudah dunia bekerja keras melawan serangan virus SARS-CoV-2 yang menginfeksi lebih dari 2 juta orang di 210 negara. Untuk memutus mata rantai penyebaran virus, sebagian negara melakukan karantina wilayah (lockdown).
Sementara Indonesia dengan jumlah kasus infeksi lebih dari lima ribu jiwa memilih melakukan pembatasan sosial berskala besar. Kebijakan itu kemudian menimbulkan persoalan lain yang tak kalah pelik: krisis pangan. Akibat karantina atau pembatasan, sejumlah jalur distribusi pangan terputus, terjadi penimbunan bahan pangan oleh sebagian pihak, dan harga bahan pangan melonjak.
Organisasi pangan dunia (FAO) telah memperingatkan ancaman krisis pangan dunia sebagai imbas dari wabah COVID-19 yang tak kunjung usai. Negara yang pangannya bergantung impor rentan terdampak perlambatan volume perdagangan, terutama jika mata uang mereka melemah, seperti rupiah saat ini terhadap dollar (Rp15.584 per 17 April 2020).
Kondisi tersebut bisa makin parah akibat pembatasan ekspor negara penghasil pangan. Saat ini negara seperti Vietnam dan India memilih mengamankan cadangan pangan dalam negeri. Padahal selama ini sebanyak 30 persen komoditas beras impor Indonesia dipasok Vietnam (2018).
Sementara India mengirimkan bawang merah, putih, dan juga gula. “(Kondisi ini) punya beberapa kesamaan dengan wabah Ebola 2014,” ungkap FAO dalam keterangan tertulis mereka. Saat Ebola mewabah, rantai pasokan pertanian ikut terganggu, banyak petani tidak bisa menanam atau menjual hasil bumi mereka. Di Liberia saja, sebanyak 47 persen petani berhenti bercocok tanam.
Defisit pangan kemudian mendorong harga komoditas utama naik dan memunculkan masalah gizi serta mengurangi daya beli rumah tangga. Neraca pangan Indonesia secara umum timpang di beban impor, berkelindan dengan profesi penghasil pangan yang terus menurun.
Data Kementerian Pertanian menyebut dari tahun 2003 hingga sekarang, Indonesia telah kehilangan sekitar 10 juta petani. Luas lahan sawah dari tahun 2014-2018 ikut berkurang sebanyak 1 juta hektare.
“Sebelum ada COVID-19 kita sudah krisis pangan dan sampai sekarang pola konsumsi masih belum diubah,” jelas Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Nasional Aliansi Untuk Desa Sejahtera kepada Tirto, Rabu, (15/4/2020).
Mayoritas rakyat Indonesia memang mengandalkan beras sebagai makanan pokok utama. Padahal pemerintah telah mengkampanyekan diversifikasi pangan karena Indonesia memiliki sumber karbohidrat lain seperti jagung, singkong, sagu dan kentang.
Pada kondisi normal, Indonesia bisa bergantung pada hasil impor dari negara lain. Tapi di situasi sekarang negara-negara eksportir tengah menghadapi pandemi yang sama. Mereka tentu lebih memprioritaskan urusan perut rakyatnya ketimbang hajat hidup negara lain. Sekaranglah saat yang tepat bagi pemerintah untuk menata sistem pangan, dorong masyarakat memanfaatkan kebun komunitas dan diversifikasi pangan.
Menangkan Perang Dengan Berkebun
Perang Dunia I telah mengubah pola konsumsi rakyat Amerika Serikat dan beberapa negara lain seperti Inggris, Kanada, Australia, dan Jerman. Mereka yang semula bergantung pada negara untuk pemenuhan konsumsi harian harus menghasilkan sayur, buah, dan sumber protein sendiri.
Kala itu jumlah petani berkurang drastis akibat perekrutan dinas militer, sisa lahan pertanian juga hancur karena perang. Sementara hasil pertanian negara harus digunakan untuk memenuhi pasokan pangan tentara. Rakyat Amerika lalu diminta berkebun untuk membantu menurunkan harga sayur dan menghemat pengeluaran negara.
Bagaimana Dengan Papua ?
Kehidupan orang Papua dahulu dan sekarang sangat berbeda. Orang Papua dahulu hidup mandiri tanpa ketergantungan dan sekarang pola hidup orang Papua menjadi ketergantungan. Apakah itu gagalnya Gereja, gagalnya pemerintah atau siapa ??

(Foto kebun milik warga masyarakat melalui binaan YLSM-PB Wilayah Paniai Meepago Papua)
Melihat dinamika kehidupan orang Papua seperti ini, ada satu NGO namanya Yayasan Lembaga Swadaya Masyarakat Pegunungan Tengah Papua / YLSM- PB yang didirikan di Distrik Aradide Paniai sekitar 1986, merasa terpanggil kampanye agar orang Papua harus berubah dan bangkit. Bangkitkan kembali budaya ” KEBUN, GEREJA, RUMAH”. Setiap orang wajib memiliki kebun. Karena hanya itulah jalan sumber kehidupan yang Pasti. Kampanye ini dilakukan tanpa ada dukungan dari Pemetintah Daerah setempat atau dari donatur lain.
*Penulis, Anggota DPRP, Laurenzus Kadepa)
[Nabire.Net/Demianus Bunai]
Tinggalkan Balasan