INFO NABIRE INFO PAPUA
Home » Blog » Kilas Balik Nabire 2018 : Kasus HIV/AIDS Di Nabire Terus Meningkat, Kolaborasi Dengan TB Mulai Mengkhawatirkan

Kilas Balik Nabire 2018 : Kasus HIV/AIDS Di Nabire Terus Meningkat, Kolaborasi Dengan TB Mulai Mengkhawatirkan

Nabire – Kasus HIV/AIDS di Nabire secara kumulatif hingga bulan September 2018 dari data Dinas Kesehatan Provinsi Papua per 30 September 2018, mencapai 7240 kasus, atau naik 233 kasus dari sebelumnya 7007 kasus pada akhir Juni 2018. Data ini sekaligus menempatkan kabupaten Nabire di urutan pertama se-provinsi Papua dengan jumlah kasus HIV/AIDS tertinggi.

Kasus HIV/AIDS di Nabire sendiri selalu berada di posisi pertama sejak September 2016 hingga saat ini. Tingginya kasus HIV/AIDS di Nabire selain karena kabupaten Nabire menjadi kabupaten rujukan dari beberapa kabupaten lain di wilayah Meepago dalam pemeriksaan kasus HIV/AIDS, juga dikarenakan perilaku hidup tidak sehat seperti melakukan seks bebas berganti-ganti pasangan.

(Baca Juga : Capai 7240 Kasus Per 30 September 2018, Kasus HIV/AIDS Di Nabire Masih Tertinggi Di Papua)

Korelasi TB Dengan HIV

Ironisnya dalam data kasus HIV/AIDS per 30 September 2018 tersebut, angka Korelasi untuk kasus TB-HIV mengalami peningkatan yaitu 3551 kasus dari 38.874 kasus HIV/AIDS di Provinsi Papua.

Menyoroti meningkatnya angka korelasi kasus TB-HIV tersebut, Kepala Bidang Pengendalian & Pemberantasan Penyakit (P2P), Dinas Kesehatan kabupaten Nabire, dr. Frans Charles Sayori kepada Nabire.net membenarkan bahwa ada hubungan antara penyakit TB dengan HIV.

(Baca Juga : Waduh, Angka Kolaborasi Penyakit TB-HIV Meningkat, Ini Penjelasan Kabid P2P Nabire)

“Benar, ada hubungan antara TB dan HIV, orang yang terkena penyakit TB, gampang terkena HIV,  sebaliknya orang yang terpapar virus HIV akan cepat sekali terkena TB, sehingga ada program kolaborasi TB-HIV”, jelas dr. Frans.

Lebih lanjut, Frans Sayori mengatakan bahwa dengan data kasus HIV/AIDS yang meningkat tersebut, secara epidemiologi, kita semua sudah berada dalam keadaan endemis HIV, artinya hal ini sudah dalam kondisi mengkhawatirkan bagi kabupaten Nabire.

Ketika ditanyakan mengenai upaya dari Dinas Kesehatan kabupaten Nabire, dr. Frans Sayori menjelaskan bahwa sesuai dengan Peraturn Menteri Kesehatan, semua warga harus diperiksa status HIV-nya.

“Semua warga wajib diperiksa status HIV-nya, TOP atau Temukan, Obati dan Pertahankan minum obat seumur hidup. Jangan sampai putus minum obat. Selain itu sekarang juga ada program 90-90-90, artinya 90% harus sudah diperiksa status HIV-nya, 90% mengetahui hasil pemeriksaan HIV-nya dan 90% sudah periksa viral Loud. Selain itu promosi kesehatan tentang HIV harus terus dilakukan”, beber Frans Sayori.

Sementara ketika ditanyakan mengenai warga yang masih enggan memeriksakan diri karena belum siap secara pribadi maupun tidak siap jika hal tersebut akan menjadi beban moril bagi dirinya, keluarganya, maupun akan dikucilkan dari lingkungannya, Frans Sayori menuturkan bahwa pihaknya akan terus berupaya baik melalui promosi kesehatan seperti poster, media cetak, media elektronik, media online, juga bisa melibatkan konselor baik di Puskesmas maupun RSUD.

Problematika Penanggulangan AIDS di Papua

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, drg. Aloysius Giyai mengungkapkan, peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS di Papua salah satunya karena gencarnya promosi tes sukarela yang dilakukan pihaknya kepada warga masyarakat.

Ia juga menyoroti faktor lain yang berkontribusi meningkatkan kasus HIV/AIDS di Papua seperti seks bebas dan minuman keras.

Tentu untuk menyelasaikan persoalan ini, bukan semata-mata tanggung jawab 1 atau 2 pihak saja, tetapi menurut Aloysius, dibutuhkan keterlibatan semua pihak.

Namun ternyata ada beberapa pemahaman yang agak keliru mengenai penyebaran penyakit HIV/AIDS di Papua. Salah seorang pemerhati HIV/AIDS Syaiful Harahap mengatakan, ada kecenderungan untuk menyalahkan Pekerja Seks Komersil yang berada di Papua terkait perilaku seksual sebagian orang, bahkan mereka dicap sebagai penyebab genosida. Bagi Syaiful, hal inilah yang menjadi pangkal epidemi HIV, karena menyalahkan orang lain tanpa melihat kesalahan pada diri sendiri. (Baca : Bukan Seks Menyimpang, Ini Penyebab Tingginya HIV/AIDS di Papua)

Celakanya, menurut Syaiful, Pemprov Papua menjalankan program sunat pada laki-laki sebagai upaya menanggulangi HIV/AIDS. Faktanya, sunat bukan mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual, tapi menurunkan risiko karena sebagaian kepala penis mengeras sehingga sulit ‘ditembus’ HIV. Tapi, batang penis yang luas permukaannya lebih besar menjadi pintu masuk bagi HIV melalui luka-luka mikroskopis ketika terjadi hubungan seksual tanpa kondom.

Seharusnya yang diperlukan di Papua untuk menanggulangi HIV/AIDS adalah penanggulangan di hulu dengan menurunkan insiden infeksi (penularan) HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK. Ini bisa dilakukan dengan intervensi yang memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK. Ini bisa efektif kalau praktek PSK dilokalisir.

Soal jumlah kasus HIV/AIDS yang banyak terdeteksi secara epidemilogis justru lebih baik daripada tidak banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi. Setiap kasus HIV/AIDS yang terdeteksi berati satu mata rantai penyebaran HIV diputus dan warga yang terdeteksi ditangani secara medis. Jika tes CD4 sudah di bawah 350 diberikan obat ARV sehingga kondisi pengidap HIV/AIDS tetap biasa dan risiko menularkan HIV bisa ditekan.

Sebaliknya, daerah-daerah dengan kasus HIV/AIDS yang sedikit terdeteksi belum tentu kasus HIV/AIDS di masyarakat tidak banyak karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Jumlah kasus yang terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Persoalan lain terkait tingginya kasus HIV/AIDS di Papua yakni belum teraturnya pengobatan kepada penderita HIV/AIDS. Dinas Kesehatan Provinsi Papua menyebut 60 persen penderita HIV/AIDS di Papua belum mengonsumsi pengobatan untuk perawatan infeksi, antiretroviral (ARV).

“Baru 40 persen yang mengonsumsi ARV secara teratur. Ada sejumlah faktor yang mempengaruhinya, di antaranya pasien HIV/AIDS malas mengkonsumsi dan malu untuk mengambil ARV di depan umum,” kata Kepala Dinas Kesehatan Papua, Aloysisus Giyai. (Baca : 60% Penderita HIV/AIDS di Papua Belum Melakukan Pengobatan Teratur)

Untuk itu, Dinas Kesehatan setempat menginstruksikan kepada petugas layanan kesehatan di kabupaten/kota hingga distrik bisa memberikan penyediaan layanan kesehatan untuk melakukan Voluntary Conseling and Testing (VCT) HIV/AIDS secara sukarela. Juga memberi perawatan dan pengobatan ARV di rumah sakit, puskesmas, dan klinik.

Selamatkan Papua Dari HIV/AIDS

Dengan jumlah penduduk mencapai 3.322.526 juta lebih, berarti sudah ada 1.17% warga di Papua yang terinfeksi HIV/AIDS. Hal ini tidak boleh terus bertambah.

Setiap pribadi yang hidup di Papua sedang mengalami suatu ancaman serius dari bahaya kepunahan karena HIV-AIDS. Karena itu, pemerintah, Gereja, tokoh adat dan tokoh masyarakat perlu berjumpa dan mencari alternatif terbaik untuk penanggulangan HIV-AIDS di tanah Papua.

HIV-AIDS sudah menjadi bencana nasional rakyat Papua. Setiap pribadi perlu menyadarinya dan mengambil langkah konkret pencegahannya.

Orang Papua perlu menghentikan kebiasaan mengkonsumsi minuman keras yang berujung pada seks bebas. Ancaman kepunahan orang Papua akibat HIV-AIDS dapat teratasi manakala orang Papua sebagai pemilik tanah ini mau mengubah perilaku hidupnya, dari kebiasaan mengkonsumsi miras dan hura-hura kepada suatu pertobatan sejati, hidup suci di hadapan sang Pencipta, sesama, leluhur dan alam semesta Papua.

[Nabire.Net]



Artikel Terkait

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.