Sekretaris besar suku Yeresiam Robertino Hanebora, meminta pemerintah pusat segera melakukan moratorium terhadap perusahaan sawit PT Nabire Baru yang beroperasi di wilayah tanah adat milik mereka. PT Nabire Baru dianggap menyalahi aturan dan mengancam kehidupan masyarakat Yeresiam Gua yangberada di Kampung Sima, Distrik Yaur, Nabire, Papua.
“Terkesan pihak perusahaan tidak adil. Pengabaian Suku Yeresiam ini mengancam kehidupan masyarakat suku besar Yaresiam Gua,” kata Robertino Hanebora, senin (31/8/15).
Robertino meminta kepada pemerintah pusat dan pemerintah provinsi serta pihak legislatif Provinsi Papua agar menyelesaikan satuts dari PT. Nabire Baru.
Pertama, mereka meminta DPR – RI dan Kaukus Papua sebagai wadah representasi OAP di parlemen untuk memanggil PT Nabire Baru dan seluruh antek anteknya guna menyelesaikan krisuh pengabaian yang dilakukan pihak perusahaan.
Kedua, PT. Nabire Baru mengganti rugi segala kerusakan lingkungan, budaya artefak dan lain sebagainya yang sudah terjadi dan sedang terjadi.
Ketiga, meminta kepada gubernur Papua, segera melakukan moratorium aktivitas PT. Naibire Baru agar proses penyelesaian bisa segara terwujud.
Keempat, Suku Yeresiam Gua diambang kehancuran dan apabila tak ada perhatian, karena kelangsungan hidup masyarakat adat Yeresiam Gua sudah tersingkir dari habitatanya, terutama menyangkut tanah.
Sementara itu, Pemuda asal Nabire, Jhon Gobay mengatakan, pemerintah lebih berpikir kepentingan investor, ketimbang masyarakat sehingga berkonspirasi untuk memuluskan jalannya investasi PT. Nabire Baru yang melecehkan hak adat masyarakat setempat.
“Kalau dilihat dari prosesnya ini bertentangan dengan undang-undang otonomi khusus, karena musyawarah dengan pemilik hak tidak dilakukan. Tetapi masyarakat yang melakukan musyawarah dengan dengan Imam Basrowi (PT Nabire Baru) hanya seorang, Yunus Money ini jelas tidak benar,” ujar Jhon Gobay.
Lanjut Gobay, lahan seluas 17.000 hektar tak mungkin dimiliki satu orang, karena tanah di Papua milik komunal. Dengan tandatangan seorang perwakilan, kemudian dikeluarkan IUP Tahun 2008 oleh gubernur.
“Proses itu tidak benar. Sesuai undang-undang perkebunan yang berhak memberikan izin bupati karena hanya satu kabupaten, sehingga izinnya tidak sah, bertentangan dengan hukum, sudah begitu izin usaha perkebunan keluar tapi tidak ada amdal, ini yang disebut ada konspirasi,” tutur Gobay.
Leave a Reply