Sengketa Tanah Ulayat Yaro, Potret Ketimpangan Penanganan Konflik Agraria

(Sengketa Tanah Ulayat Yaro, Potret Ketimpangan Penanganan Konflik Agraria)

Nabire, 11 Mei 2025 – Sengketa hak ulayat tanah adat di Distrik Yaro, Kabupaten Nabire, kembali mencuat ke publik setelah tindakan aparat keamanan pada 8 Mei 2025 memicu ketegangan di tengah masyarakat adat.

Dalam insiden tersebut, sebanyak 15 warga dari marga Boma/Kedeikoto ditangkap dan alat-alat mereka disita oleh Polres Nabire. Keesokan harinya, lima orang lainnya turut diamankan oleh Polsek Nabire Barat, meski kemudian dipulangkan.

Masyarakat adat dari marga Boma/Kedeikoto menilai tindakan ini sebagai bentuk kriminalisasi dan ketidakadilan. Mereka menduga Bupati Nabire, berpihak pada kelompok tertentu yang dikabarkan menyerang dan merebut pondok milik marga Boma/Kedeikoto pasca penyitaan alat oleh aparat.

Dalam kondisi tak bersenjata, masyarakat Boma/Kedeikoto melarikan diri ke hutan sebelum akhirnya kembali ke kota dengan kondisi trauma dan ketakutan.

Hak ulayat merupakan hak konstitusional masyarakat hukum adat yang dijamin oleh UUD 1945 Pasal 18B ayat (2), UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA), serta diperkuat dengan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012. Namun, dalam praktiknya, masyarakat adat kerap menjadi korban ketimpangan perlakuan hukum.

“Penanganan konflik ini menunjukkan absennya prinsip keadilan substantif. Aparat hanya menyasar satu kelompok, dan ini menciptakan preseden buruk bagi penegakan hukum yang seharusnya netral,” ujar salah satu tokoh adat setempat kepada Nabirenet.

Lebih dari sekadar persoalan agraria, konflik di Yaro menyentuh aspek kekayaan intelektual komunal (HKIK), mencakup sistem penggunaan lahan, pola berburu, serta pengetahuan lokal. Perampasan tanah dan pondok adat dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak kolektif masyarakat adat yang belum secara komprehensif dilindungi dalam hukum Indonesia.

Jalan Penyelesaian: Mediasi Adat dan Reformasi Regulasi

Masyarakat adat dan para pemerhati hak asasi mendesak dibentuknya forum mediasi independen yang melibatkan lembaga adat, akademisi, serta pemerintah daerah. Selain itu, perlu segera disahkan peraturan daerah (Perda) tentang perlindungan masyarakat adat dan HKIK sebagai dasar hukum penyelesaian konflik.

“Strategi Bupati yang diduga tidak netral bukan saja memperpanjang konflik, tetapi juga memperdalam luka kolektif masyarakat adat yang selama ini berjuang mempertahankan hak warisan leluhurnya,” tutup salah satu perwakilan masyarakat.

Konflik Yaro kini menjadi potret nyata bagaimana keadilan agraria dan pengakuan atas hak adat belum menjadi prioritas di tanah Papua. Tanpa perubahan kebijakan dan sikap pemimpin yang netral, kekerasan dan ketimpangan hanya akan terus berulang.

[Nabire.Net/Musa Boma]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *