Nabire Punya Potensi Terjadinya Bencana Yang Sama Seperti Di Sentani
(Bendung Kalibumi Nabire)
Nabire – Banjir bandang di kawasan Sentani Jayapura Papua 16 Maret 2019 lalu, mengakibatkan kerugian jiwa dan materiil, serta meninggalkan trauma bagi warga terdampak.
Dampak banjir yang tak hanya merenggut korban jiwa, juga turut meluluhlantahkan aktivitas warga, bahkan warga terdampak masih memilih mengungsi mengingat wilayah yang terdampak banjir masih rawan.
(Baca Juga : Banjir Terjang Kawasan Sentani Jayapura, Ada Korban Jiwa)
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menjelaskan, banjir yang terjadi di kawasan Sentani diakibatkan dua faktor yaitu faktor curah hujan yang tinggi (alam) serta faktor kerusakan alam yang disebabkan oleh manusia.
Hal itu disampaikan Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas (Kapusdatin) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, dalam konferensi pers senin kemarin (18/03).
Dirinci Sutopo, khusus untuk faktor manusia, bisa dilihat dari kerusakan di pegunungan Cycloop dan hal itu sudah berlangsung sejak 2003. Yang dimaksud Sutopo dengan faktor manusia yakni penebangan pohon untuk pembukaan lahan baru, untuk pemukiman dan lain sebagainya.
“Jadi penyebabnya ada dua, kombinasi antara faktor alam dan faktor ulah manusia. Kita melihat kerusakan hutan di pegunungan cyclopp, ternyata sudah berlangsung sejak tahun 2003, rambahan cagar alam oleh 43.230 jiwa atau 753kk sejak 2003. Kemudian juga ada penggunaan lahan pemukiman, dan pertanian lahan kering campur di das sentani seluas 2.415 ha, kemudian masih terjadi penebangan pohon, baik itu untuk pembukaan lahan, perumahan maupun untuk kebutuhan kayu juga penambangan galian C. 9 wilayah kelurahan yang terdampak banjir merupakan dataran alur hijau, yang terbantuk dari bagian atas, yang secara alamiah adalah daerah rawan banjir,” jelas Sutopo, seperti dimuat di VOA.
Apa yang disampaikan oleh BPNB ini tentu sudah bisa diketahui banyak pihak, pengrusakan alam yang masif terjadi di Papua oleh ulah manusia, perlahan mulai terlihat dampaknya melalui bencana alam seperti banjir dan longsor yang terjadi.
Lalu bagaimana dengan kabupaten Nabire, apakah potensi yang sama bisa saja terjadi di daerah ini ? Jawabannya sudah barang tentu iya. Melihat 3 dekade ke belakang, masuknya perusahaan-perusahaan kayu, tambang dan sawit mulai mengancam sumber daya alam yang ada di Nabire.
Selain perusahaan-perusahaan tersebut, faktor sampah yang terus menerus menjadi persoalan yang belum ada solusinya di Nabire, pembukaan lahan baru oleh warga, pengambilan material di sungai/kali oleh warga, turut menyumbang potensi kerawanan bencana alam yang setiap saat bisa saja terjadi di Nabire.
Salah satu lokasi yang menyimpan potensi terjadinya bencana adalah Kalibumi Nabire. Kalibumi yang sangat luas areanya, dimanfaatkan pemerintah untuk mengairi ribuan hektar lahan pertanian melalui pembuatan Bendung Kalibumi di Kampung Kalibumi (SP1) Distrik Nabire barat, pada tahun 1996 dengan luas 6400 Hektar, terdiri dari 4.400 Hektar pada daerah irigasi Kalibumi Kanan dan 2.000 Hektare pada daerah irigasi Kalibumi Kiri, menghabiskan 138 Miliar.
Namun terkadang, bendung ini dipenuhi oleh sampah kayu gelondongan yang berasal dari aktivitas penebangan kayu di hulu Kalibumi, yang ditakutkan dapat mengakibatkan jebolnya bendung. Selain sampah kayu, sendimen lumpur di Kalibumi juga dikhawatirkan dapat mengakibatkan meluapnya bendung Kalibumi. Tentu hal ini tidak kita harapkan terjadi. Namun jika bendung Kalibumi jebol, maka akan banyak kampung di Distrik Nabire Barat dan Wanggar yang akan terkena dampaknya.
(Baca Juga : Warga SP1 Kalibumi Minta Pemerintah Nabire Bersihkan Bendungan)
Nabire.Net mencoba menanyakan hal ini kepada Kepala Dinas Pekerjaan Umum & Perumahan Rakyat kabupaten Nabire, Otto Riskandar ST M.Si, selasa (19/03).
Kepada Nabire.Net, Otto menjelaskan, Bendung Kalibumi dibangun oleh Balai Wilayah Sungai (BWS) dengan sumber dana yang berasal dari APBN. Sementara pemeliharaannya bersumber dari APBD oleh Dinas PUPR Papua bidang Sumber Daya Alam.
Otto sendiri tidak menampik bahwa adanya sampah kayu gelondongan di bendung Kalibumi sangat berbahaya jika dibiarkan. Oleh karena itu dirinya sudah melaporkan hal ini ke Dinas PUPR Provinsi Papua, tahun 2018 lalu, agar sampah kayu tersebut bisa dibersihkan, kemudian sendimen lumpur harus dikeruk.
Lebih lanjut Otto menjelaskan bahwa pihaknya akan kembali melakukan pengecekan dana pemeliharaan bendung Kalibumi ke Provinsi, karena hal ini merupakan tanggung jawab Provinsi, dan bukan kabupaten.
Melihat potensi kerawanan yang ada, semua pihak harus membuka mata dan mengawasi secara intens akan hal ini baik pemerintah maupun masyarakat, jangan ada pembiaran sehingga bencana alam bisa dicegah.
Pemerintah juga harus tegas dengan mereka yang mengeksploitasi sumber daya alam namun tidak bertanggung jawab akan kerusakan yang ditimbulkan, lebih khusus bagi perusahaan kayu, tambang dan sawit. Pemerintah wajib mengontrol operasional mereka, bukan sekedar memberikan ijin operasional semata.
Tentu tak ada yang ingin terkena bencana alam, namun akan lebih bijak untuk lebih intensif mencegah terjadinya bencana, daripada intensif setelah bencana telah terjadi.
[Nabire.Net]
Share on:
WhatsApp
Post Views: 1,474
Walaupun anggaran pemeliharaannya bersumber dari APBD provensi tapi inisiatif usulannya dari PEMDA KABUPATEN Nabire sebagai yang berkepentingan langsung terhadap bendungan tersubut