INFO PAPUA TENGAH
Home » Blog » DKP KINGMI Papua Menilai Ada Kepentingan SDA di Balik Pembunuhan Pdt. Neles Peuki

DKP KINGMI Papua Menilai Ada Kepentingan SDA di Balik Pembunuhan Pdt. Neles Peuki

Mimika, 27 November 2025 – Departemen Keadilan dan Perdamaian (DKP) Sinode Gereja KINGMI di Tanah Papua menyampaikan duka mendalam dan kecaman keras atas pembunuhan tragis terhadap Pdt. Neles Peuki, Gembala Sidang Jemaat Amin Mogodagi, Distrik Kapiraya Atas, Kabupaten Dogiyai, pada 24 November 2025.

Dalam pernyataan resmi yang ditandatangani Pdt. Deserius Adii, M.Th, DKP KINGMI menilai peristiwa tersebut sebagai tindakan biadab dan paling memilukan sejak Injil pertama kali masuk ke wilayah Meepago pada 1938.

“Pembunuhan Pendeta Neles Peuki, kemudian dibakar di tempat ia menggembalakan umat, adalah luka besar bagi gereja, bagi Suku Mee, dan bagi seluruh Tanah Papua. Ini tragedi paling memilukan dalam sejarah pelayanan sejak Injil masuk Meepago.” tegas Pdt. Deserius Adii.

Korban Luka dan Tewas

Selain menewaskan Pdt. Neles Peuki, kekerasan di Mogodagi dan Kapiraya juga melukai sejumlah warga:

  1. Nelius Peuki – luka panah, kritis

  2. Isak Anouw – luka parang

  3. Menase Dimi – luka panah

  4. Aten Anouw – luka kartapel

  5. Yulianus Goo – luka kartapel

  6. Yulian Goo – luka kartapel

  7. Pdt. Neles Peuki – dibunuh dan dibakar di lokasi pelayanan

Gereja menyebut rangkaian kekerasan ini sebagai kejadian yang mengguncang masyarakat Mee dan menjadi ancaman serius bagi kedamaian di wilayah adat.

Dugaan Kepentingan SDA di Balik Konflik

DKP KINGMI menduga keras bahwa kekerasan yang terjadi tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan kepentingan sumber daya alam (SDA) di kawasan Kapiraya dan Mogodagi.

Gereja menyebut sejumlah indikasi yang dinilai mencurigakan, antara lain:

  • eksploitasi kayu secara ilegal,

  • aktivitas tambang emas di Kali Wakia,

  • rencana pembangunan markas keamanan,

  • upaya penataan ulang wilayah adat.

“Kami melihat ada kepentingan besar yang menunggangi konflik ini. Ada upaya mengadu domba Mee dan Kamoro demi membuka jalan bagi eksploitasi SDA secara masif,” ungkap DKP KINGMI.

Gereja juga menegaskan bahwa kampung-kampung di wilayah tersebut merupakan tanah adat turun-temurun 11 marga Suku Mee, yang sejak lama hidup berdampingan secara damai dengan Suku Kamoro. Karena itu, konflik yang muncul belakangan dianggap bukan berasal dari masyarakat adat, melainkan campur tangan pihak luar.

Seruan DKP KINGMI untuk Pemulihan & Penegakan Hukum

Melalui Seruan Gembala, DKP Sinode KINGMI menyampaikan empat tuntutan utama:

  1. Menghentikan adu domba Mee–Kamoro yang dikaitkan dengan kepentingan jabatan, keamanan, penjarahan kayu, dan eksploitasi tambang emas di Kali Wakia dan Blok Fajar Timur.

  2. Memulihkan hubungan kekeluargaan Mee–Kamoro, sebagaimana diwariskan leluhur mereka.

  3. Menggelar dialog adat untuk menetapkan tapal batas adat secara permanen tanpa intervensi pihak luar.

  4. Menangkap pelaku pembunuhan, penganiayaan, serta pembakaran rumah warga.

DKP KINGMI menegaskan bahwa kekerasan terhadap warga, terlebih terhadap seorang pendeta, adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dalam keadaan apa pun.

“Tanah adat tidak boleh dijadikan arena konflik demi kepentingan ekonomi. Perdamaian adalah warisan leluhur yang wajib kita jaga,” tutup DKP KINGMI dalam seruannya.

[Nabire.Net/Marten Dogomo]

Post Related

Leave a Reply

Your email address will not be published.