Kusta di Nabire: Antara Fakta dan Stigma Kutukan

Perang melawan kusta di Indonesia masih berlanjut. Data terbaru dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2023, 14.376 kasus baru kusta dilaporkan di 38 provinsi. Namun, tantangan sebenarnya terletak pada 11 provinsi dan 124 kabupaten/kota yang masih belum mencapai eliminasi kusta.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi mengatakan, prevalensi kusta tertinggi pada 2023 umumnya berada di Indonesia Timur.
Papua Barat memiliki prevalensi kusta paling tinggi, yakni 13,6 kasus per 10 ribu penduduk. Angkanya sekitar 22 kali lebih tinggi dari rerata nasional.
Berikutnya ada Papua dan Papua Barat Daya yang masing-masing memiliki prevalensi 10,77 dan 8,2 kasus per 10 ribu penduduk.
Di Papua Tengah, Kabupaten Nabire menyumbang angka terbesar jumlah penyakit kusta dengan jumlah 160 kasus, diikuti kabupaten Mimika dengan jumlah 74 kasus dan kabupaten Paniai dengan jumlah 26 kasus.
Kusta, juga dikenal sebagai lepra, adalah penyakit infeksi kronis yang menyerang kulit, saraf tepi, mata, dan selaput mukosa hidung. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Meskipun kusta tidak mudah menular, penularannya dapat terjadi melalui kontak dekat dan berulang dengan percikan ludah atau dahak dari penderita yang tidak diobati.
Gejala kusta dapat bervariasi tergantung pada tingkat keparahan penyakit. Gejala umum termasuk:
-
Mati rasa atau kesemutan pada tangan, kaki, dan wajah
-
Kelemahan otot
-
Lesi kulit yang berwarna pucat, merah, atau coklat
-
Penebalan saraf
-
Hilangnya alis dan bulu mata
-
Kerusakan mata
Diagnosis kusta didasarkan pada pemeriksaan fisik, tes saraf, dan pemeriksaan biopsi kulit. Pengobatan kusta menggunakan kombinasi antibiotik selama 6 bulan hingga 2 tahun, tergantung pada tingkat keparahan penyakit. Dengan diagnosis dan pengobatan dini, kusta dapat disembuhkan sepenuhnya dan kecacatan dapat dicegah.
Salah satu tantangan utama dalam penanggulangan kusta di Nabire adalah stigma yang melekat pada penyakit ini.
Masyarakat seringkali mengaitkan kusta dengan kutukan atau hukuman, sehingga mereka enggan memeriksakan diri ke dokter dan menjalani pengobatan. Hal ini menyebabkan keterlambatan diagnosis dan pengobatan, yang dapat memperparah kondisi pasien dan meningkatkan risiko kecacatan.
Selain itu, akses layanan kesehatan yang terbatas di beberapa daerah di Nabire juga menjadi hambatan. Masyarakat di pedalaman terpencil mungkin kesulitan menjangkau puskesmas atau rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan kusta.
Fakta vs Stigma
Berikut beberapa fakta tentang kusta yang perlu diketahui:
-
Kusta bukan kutukan. Kusta disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, yang menyerang sistem saraf dan kulit. Bakteri ini menular melalui kontak langsung dengan percikan ludah atau lendir dari penderita kusta yang tidak diobati.
-
Kusta bisa disembuhkan. Pengobatan kusta dengan kombinasi antibiotik selama 6-12 bulan terbukti efektif. Pengobatan dini dapat mencegah kecacatan permanen.
-
Penderita kusta tidak menularkan penyakit jika sudah menjalani pengobatan.
Stigma dan diskriminasi terhadap penderita kusta justru memperlambat upaya eliminasi penyakit ini. Masyarakat perlu diedukasi tentang fakta-fakta kusta agar terhindar dari stigma dan diskriminasi.
Upaya eliminasi kusta di Nabire membutuhkan kerjasama semua pihak, termasuk pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat. Dengan memahami fakta tentang kusta dan menghilangkan stigma, kita dapat membantu para penderita kusta mendapatkan pengobatan dan hidup dengan layak.
*Penulis : dr.Frans F.C. Sayori, M.Kes, Mahasiswa Doktoral pada Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin
[Nabire.Net]


Lowice Marselina, S. Pd
Trimakasih bisa mendapatkan informasi kesehatan tentang penyakit kusta semoga bisa mendapatkan solusi bagaimana proses penyembuhan penyakit tersebut