Kepala Suku Besar Meepago Tegaskan Masa Kepemimpinan Berlaku hingga 2030, Tolak Intervensi dan Upaya Penggantian
Nabire, 26 November 2025 – Polemik terkait isu pengangkatan perangkat Kepala Suku Besar kembali memanas di Wilayah Adat Meepago. Di tengah meningkatnya dinamika sosial dan tekanan politik lokal, Kepala Suku Besar Meepago, Melkias Keiya, mengeluarkan pernyataan resmi untuk meluruskan situasi yang dinilai mulai mengganggu stabilitas adat.
Melkias Keiya menyebut kondisi sosial Meepago saat ini berada dalam fase sensitif yang ia gambarkan sebagai “banjir besar yang merembes hingga ke akar kehidupan masyarakat”. Situasi ini, menurutnya, menuntut kepemimpinan adat yang stabil agar tidak terjadi keretakan sosial lebih jauh.
Ia menegaskan bahwa masa kepemimpinannya sebagai Kepala Suku Besar Meepago masih sah dan berlaku hingga tahun 2030, sesuai keputusan musyawarah adat yang telah disepakati dan diakui oleh seluruh struktur adat Meepago.
“Masa jabatan ini belum selesai. Karena itu, tidak boleh ada intervensi, upaya penggantian, atau pemilihan ulang secara sepihak sebelum tahun 2030,” tegasnya.
Melkias memperingatkan bahwa manuver politik untuk mendorong pergantian kepemimpinan adat dapat memicu konflik baru dan mengganggu stabilitas delapan kabupaten dalam lingkup Meepago, termasuk Dogiyai, Deiyai, Paniai, Nabire, Mimika, dan Intan Jaya.
Ia juga menegaskan bahwa Lembaga Perkumpulan Masyarakat Wilayah Meepago Provinsi Papua Tengah merupakan satu-satunya lembaga resmi yang berwenang mengatur seluruh urusan adat, mulai dari pengangkatan perangkat adat hingga pelaksanaan musyawarah besar adat. Semua proses adat, katanya, harus melalui lembaga tersebut, dan tidak boleh ada campur tangan pihak luar.
Melkias turut menyoroti adanya kecenderungan intervensi pemerintah daerah dalam polemik adat. Ia menilai hal tersebut sebagai pelanggaran terhadap tatanan adat serta prinsip pengakuan negara terhadap masyarakat adat.
“Legalitas adat Meepago tidak boleh dicampuri Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, maupun pihak mana pun. Pemerintah hanya melindungi, bukan mengatur adat,” ujarnya.
Situasi di Meepago saat ini diwarnai berbagai tantangan, mulai dari konflik tapal batas, dinamika politik lokal, meningkatnya kriminalitas, hingga keretakan sosial antarkelompok. Dengan kondisi tersebut, ia menilai kepemimpinan adat yang stabil sangat diperlukan agar masyarakat tidak mudah terprovokasi.
Melkias pun menyerukan kepada seluruh masyarakat Meepago untuk menjaga ketertiban dan tidak terpancing isu yang memecah persatuan.
Ia kembali menegaskan bahwa kedaulatan adat Meepago tidak boleh diganggu hingga masa jabatannya berakhir pada 2030.
“Adat mengatur dirinya sendiri; pemerintah menghormati dan melindungi.”
[Nabire.Net/Marten Dogomo]


Leave a Reply