Kepala Suku Besar Meepago Himbau Masyarakat Papua Tengah Jaga Kamtibmas
Nabire, 31 Agustus 2025 – Kepala Suku Besar Wilayah Meepago, Provinsi Papua Tengah, Melkias Keiya, mengeluarkan himbauan resmi kepada masyarakat di delapan kabupaten/kota se-Papua Tengah terkait perkembangan situasi nasional. Himbauan tersebut menekankan pentingnya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) sekaligus mengantisipasi potensi gangguan yang dapat mengganggu stabilitas daerah.
Dalam pernyataannya, Melkias Keiya menekankan agar masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu yang berkembang, baik di tingkat nasional maupun daerah. Ia menegaskan bahwa kebebasan berpendapat dijamin undang-undang, namun pelaksanaannya harus dilakukan secara damai, tertib, dan sesuai hukum.
“Saya menghimbau seluruh masyarakat Meepago dan Papua Tengah agar apabila ingin menyampaikan aspirasi, hendaknya dilakukan dengan cara yang baik dan sesuai aturan hukum. Jangan sampai kita terjebak dalam provokasi yang berujung pada tindakan anarkis, karena itu hanya akan merugikan kita semua,” tegasnya.
Selain itu, ia juga mengajak masyarakat untuk mewaspadai penyebaran isu bohong (hoaks), penyalahgunaan miras, narkoba, serta potensi konflik sosial. Menurutnya, keamanan adalah tanggung jawab bersama, tidak hanya aparat TNI-Polri, tetapi juga masyarakat adat, tokoh agama, pemuda, dan perempuan.
Kepala Suku Besar memberi perhatian khusus kepada pemuda dan mahasiswa yang kerap menjadi garda terdepan dalam menyuarakan aspirasi. Ia berharap generasi muda Papua Tengah dapat menjadi agen perubahan yang damai, cerdas, dan bermartabat, bukan justru menjadi pemicu perpecahan.
“Hidupkan semangat persatuan, persaudaraan, dan gotong royong. Tanah Papua adalah tanah damai, mari kita jaga bersama demi masa depan anak cucu kita,” pungkasnya.
[Nabire.Net]


ferryibo
PERNYATAAN SIKAP ADAT KOMUNITAS MEEPAGO
Kami, para tokoh adat, pemangku keret, dan masyarakat adat dari wilayah budaya Meepago, dengan ini menyampaikan pernyataan sikap sebagai bentuk penegasan terhadap pelantikan tokoh yang mengatasnamakan diri sebagai “Kepala Suku Besar Meepago” di wilayah Papua Tengah.
1. Kepemimpinan Adat Tidak Bisa Diangkat oleh Pemerintah
Kepala suku dalam tradisi kami bukanlah jabatan administratif yang dapat ditetapkan melalui Surat Keputusan pemerintah atau lembaga formal. Kepemimpinan adat adalah warisan turun-temurun yang lahir dari garis keret, pengakuan komunitas, dan sejarah panjang yang dijaga secara sakral.
2. Meepago Bukan Satu Suku, Melainkan Wilayah Budaya
Wilayah Meepago terdiri dari berbagai suku dan keret, termasuk Mee, Moni, Damal, dan lainnya. Tidak ada satu tokoh atau marga yang memiliki otoritas adat atas seluruh Meepago. Maka, klaim sebagai “Kepala Suku Besar Meepago” adalah bentuk penyederhanaan yang keliru dan berpotensi merusak tatanan adat.
3. Kami Menolak Politisasi Identitas Adat
Kami menolak segala bentuk pelantikan tokoh adat yang tidak melalui mekanisme adat yang sah. Pengangkatan tokoh adat oleh pemerintah tanpa konsultasi dan pengakuan dari komunitas adat adalah bentuk intervensi yang melemahkan martabat adat dan membuka ruang bagi manipulasi politik.
4. Kami Menuntut Klarifikasi dan Penghentian Penggunaan Gelar Adat Secara Sepihak
Kami meminta kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pelantikan tersebut untuk memberikan klarifikasi kepada masyarakat adat Meepago. Kami juga menuntut agar penggunaan gelar “Kepala Suku Besar Meepago” dihentikan sampai ada proses adat yang sah dan pengakuan dari seluruh keret yang tergabung dalam wilayah budaya Meepago.
5. Kami Menegaskan Kembali Kedaulatan Adat
Kami akan terus menjaga dan melestarikan nilai-nilai adat kami, serta menolak segala bentuk pengaburan identitas dan struktur adat demi kepentingan politik atau birokrasi. Martabat adat tidak bisa dibeli, diangkat, atau ditetapkan oleh kekuasaan luar.
Demikian pernyataan sikap ini kami buat sebagai bentuk komitmen menjaga warisan leluhur dan menolak segala bentuk penyimpangan terhadap tatanan adat.
Atas nama komunitas adat Meepago,
2 Sipa
yang melakukan anarkis itu Aparat Kepolisian dan Tentara Indonesia, bukan masyarakat