Perusahaan Kelapa Sawit Di Nabire Beroperasi Tanpa Dasar Hukum Yang Kuat

Perkebunan kelapa sawit yang sedang dikerjakan oleh PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri di wilayah adat Suku Yerisiam, ternyata tanpa dasar hukum yang kuat. Dua perusahaan tersebut mendapat ijin dari penjabat Gubenur, drh. Costan Karma (ketika itu).

Kepala Suku Besar Masyarakat Adat Yerisiam Kabupaten Nabire, Pdt. Simon Petrus Hanebora, mengatakan, dua perusahaan kelapa sawit itu termasuk yang akan dicabut ijin operasinya karena ijin operasinya diterbitkan oleh penjabat gubenur yang nota bene tak punya kewenangan.

“Keputusan Gubernur Lukas Enembe ini adalah klimaks dari pergumulan panjang masyarakat pribumi Yerisiam selama ini. Karena perkebunan kelapa sawit yang dikerjakan oleh PT. Nabire Baru dan PT Sariwana Unggul Mandiri di atas tanah ulayat adat suku Yerisiam, hanya dengan menggunakan ijin dari gubernur carateker (Costan Karma). Yang secara aturan tidak mempunyai kekuatan hukum,” demikian menurut SP Hanebora, Senin (14/10) sore.

Pernyataan Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe, akan segera menertibkan dan mencabut ijin-ijin beroperasi perusahan, HPH, pertambangan dan perkebunan yang diberikan oleh Penjabat Gubenur Papua sebelumnya, dipandang sebagai satu langkah cerdas untuk mengamankan lingkungan dan potensi yang ada.

Gubernur Lukas Enembe menegaskan, “Ijin yang dikeluarkan oleh pejabat gubernur/karateker kepada perusahan-perusahan HPH, Pertambangan dan Perkebunan yang sekarang banyak digunakan untuk beroperasi di Papua harus dicabut. Karena Gubernur Caretaker tidak mempunyai kewenagan untuk memberikan ijin.”

Dalam siaran pers, SP Hanebora, menyatakan, “Saya sudah sampaikan di tulisan-tulisan saya sebelumnya bahwa perkebunan kelapa sawit PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri berjalan dengan banyak persoalan, mulai dari dilanggarnya UU Nomor 32 tahun 2008 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hingga menggunakan ijin gubernur carateker pada tahun 2012, untuk beroperasi selama ini di wilayah adat Yerisiam.”

Karena ijin operasi yang dipakai selama ini oleh dua perusahaan itu tak kuat, tulis Hanebora, Badan Pengelola Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup (BAPESDALH) Provinsi Papua tidak menerbitkan ijin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Manajemen perusahaan kemudian menghadap Penjabat Gubernur Papua dan ijinnya diterbitkan.

“Berdasarkan pernyataan Gubernur Papua Lukas Enembe untuk mencabut ijin-ijin operasioanal perusahaan-perusahaan yang diterbitkan oleh Penjabat Gubernur, maka secarah hukum Ijin Operasional PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri, telah gugur dengan sendirinya. Jadi, kedua perusahaan tersebut harus ditutup,” tegas SP. Hanebora.

Hanebora juga meminta, pihak Pemerintah Provinsi Papua turun langsung ke lapangan untuk menghentikan aktivitas perusahaan-perusahaan ilegal itu. Termasuk Perkebunan Sawit PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri di Kabupaten Nabire.

Sekretaris I Dewan Adat Papua, John NR Gobai dalam pernyataannya, mendukung hal itu. Kata John, PT/ Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri bekerja tanpa AMDAL dan sudah jelas-jelas melecehkan hak adat Suku Yerisiam sebagai pemilik ulayat.

“PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri tidak menghargai adanya kepemilikan tanah adat di Papua, sehingga ini merupakan sebuah pelecehan terhadap hak adat masyarakat adat sesuai dengan UU Otsus Papua. Awalnya pihak perusahaan menggunakan pendekatan lain kepada masyarakat setempat dan beberapa tokoh masyarakat lain yang mengatasnamakan masyarakat pemilik ulayat. Cara-cara demikian sudah melecehkan hak adat Papua,” tuturnya.

John menuding, ada konspirasi kepentingan antara manajemen PT. Nabire Baru dan PT. Sariwana Unggul Mandiri dengan pejabat publik di Kabupaten Nabire dalam tahap penyiapan lahan tanpa adanya pembicaraan dengan pemilik hak ulayat.

“Pihak perusahaan harus segera membuka perundingan dengan pemilik hak ulayat dalam hal ini Suku Yerisiam dan Suku Mee untuk membicarakan kompensasi kayu yang telah diambil selama ini,” pinta John sambil menambahkan, upaya tersebut harus difasilitasi oleh pemerintah Provinsi Papua dan Kabupaten Nabire.

DAP juga minta, Gubernur Provinsi Papua dan Bupati Nabire agar memerintahkan BAPESDALH Papua dan BLH Nabire untuk tidak menandatangani Dokumen AMDAL dari kedua perusahaan itu.

SP Hanebora dan timnya sudah beberapa kali mengadukan persoalan tersebut ke pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten dan berbagai pihak terkait. Namun, tak ada reson. Dua pekan lalu, Komnas HAM Papua “turun” ke Nabire dan meninjau langsung lokasi perkebunan sawit.

Selama beberapa tahun terakhir, perusahaan HPH berkedok perkebunan kelapa sawit di wilayah Sima dan Wami, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire, diduga melakukan pembalakan hutan secara liar. Aktivitas eksploitasi kekayaan alam di atas tanah adat Suku Yerisiam seluas 17.00 hektar itu terkesan dibiarkan tanpa ada pengawasan dari pemerintah. Bahkan, dalam beberapa laporan, disebutkan bahwa pihak perusahaan menyewa aparat keamanan untuk mengamankan lokasi perusahaan dan kegiatan illegal logging.

(Sumber : Tabloidjubi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *